Selasa, 12 November 2013

Sekilas tentang saya

Nama
Nama saya Rahmat, menurut cerita orang tua saya, nama semula waktu lahir adalah Syahril Ramadhan, tetapi karena saya sering sakit, maka menurut mitos dan keyakinan yang dipahami oleh orang tua saya bahwa ada keterkaitan antara namasaya dengan penyakit tersebut. Kemudian nama saya diganti menjadi  Rahmat. Alasan diberi nama rahmat menurut cerita orang tua saya, karena saya dilahirkan pada Bulan Ramadhan, sebab bulan Ramadhan itu adalah bulan penuh rahmat.
Data kelahiran
Dalam data yang tertera dalam buku rapor dan ijazah saya, saya dilahirkan pada tanggal 12 April 1980. Sebenarnya tanggal dan tahun kelahiran saya itu pasti sesuai dengan data yang terdapat dalam beberapa dokumen penting tersebut, tapi karena sudah tertera maka saya selalu mengatakan bahwa saya dilahirkan pada tanggal dan tahun tersebut. Menurut sepengetahuan saya bahwa tanggal dan tahun kelahiran  yang tertera dalam beberapa dokumen penting tersebut adalah atas pilihan saya sendiri tanpa ada diketahui kepastiannya. Di samping itu Buku Rapor SD saya hilang pada saat saya sudah kelas V. Oleh sebab itu untuk data berikutnya saya saja yang membuat data kelahiran saya. Jadi data sekarang ini adalah data bikinan saya sendiri. Saya coba tanya kepada orang tua saya, sama siapa saya di Punggung Kasik tempat kelahiran saya ini dilahirkan untuk melacak data yang pasti tentang waktu kelahiran saya, tapi semua data yang telah saya bikin itu telah tersebar di berbagai sumber, maka tidak mungkin lagi untuk dirobah, namun yang pasti bahwa Allah SWT yang Maha tahu dengan segalanya.
Tempat Lahir
Saya dilahirkan di sebuah Desa yang  telah punya nama sewaktu saya dilahirkan. Orang menyebutkan bahwa tempat kelahiran saya adalah Punggung Kasik. Menurut cerita orang tua-tua, alasan Desa kelahiran itu bernama Punggung Kasik adalah “ Punggok Kasiak “ Tumpukan Pasir ada juga sebagian orang tua menyebutkan alasannya, karena Punggung Kasik ini daerahnya banyak pasir. Menurut keterangannya bahwa orang tua-tua kalau mau bikin rumah digali saja sumur untuk mendapatkan pasir. Dengan modal satu sumur saja rumah sudah dapat berdiri. Jadi daerah Punggung Kasik itu kebanyakan pasir.
Pada saat saya dilahirkan Punggung Kasik dalam status Desa dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa, tetapi pada tahun 2001 setelah dikeluarkan Perda tentang Pemerintahan Nagari, maka Punggung Kasik menjadi sebuah Korong yang merupakan bagian dari Nagari Lubuk Alung. Secara struktur Pemerintahan, Punggung Kasik tidak bisa membuat aturan administrasi pemerintahan secara mandiri, karena Punggung Kasik di bawah wilayah atau komando Nagari. Menurut cerita beberapa orang tua yang ada di Punggung Kasik menceritakan bahwa dulunya Punggung Kasik  merupakan sebuah pemerintahan nagari tersendiri yang bebas dalam menentukan aturan yang akan dilaksanakan oleh masyarakatnya pada zaman Belanda, tapi yang persisnya  saya juga belum tahu karena saya belum melakukan wawancara yang mendalam dengan informan terkait. Tapi karena kondisi keuangan yang pailit membuat Nagari Punggung Kasik tidak dapat menjalankn roda Pemerintahannya secara operasional. Akhirnya Punggung Kasik digabungkan dengan Nagari yang lebih besar yaitu Nagari Lubuk Alung. Itu langkah awal perubahan status Punggung Kasik menjadi bagian dari Lubuk Alung. Pada saat itu Punggung Kasik dengan struktur adatnya masih mengatakan bahwa mereka bagian dari Lubuk Alung, tapi beda dengan Lubuk Alung. Persoalan yang membuat beda adalah adat istiadat. Punggung Kasik dikenal dengan filosofi “Adat Manggungguang Mambawo Tabang” ( Adat digunggung dibawa terbang). Masyarakat Punggung Kasik mempunyai Mamak Nan Sabakeh dan Imam Khatib yang Tujuh dengan jumlah suku yang ada juga tujuh. Tapi akhir tahun 2003 Ninik Mamak Punggung Kasik telah dilewakan juga gelarkannya, tapi ada polemic juga di kalangan Ninik Mamak, karena timbul perbedaan pemahaman,maka status Datuak yang dilantik itu belum jelas dan belum mendapt legitimasi dari seluruh unsure ninik mamak, yang jelas saya tidak tahu karena saya tidak terlibat secara aktif dalam proses itu.
Pendidikan
Menurut orang tua saya dan menurut saya, saya masuk Sekolah Dasar dalam usia 6 (enam) tahun, tapi yang pastinya sekali lagi saya katakana saya tidak tahu persis, tetapi berdasarkan perhitungan dengan data kelahiran saya yang tertera dalam beberapa dukomen penting saya, maka usia tersebut memungkinkan. Pada saat saya duduk di Kelas satu, maka saya dipercaya menjadi Wakil ketua. Ketua kelas pada waktu itu adalah teman saya yang bernama Ikhsan. Maka dengan demikian disebabkan oleh jabatan saya di Kelas, saya menjadi orang “Bagak” nomor dua di bawah Ketua Kelas. Menurut hemat saya terpilihnya saya menjadi Wakil Ketua Kelas, disebabkan oleh rumah saya dekat dengan Sekolah. Tapi kemudian status Bagak saya selalu turun karena ada kedatangan orang Bagak baru, baik yang disebabkan oleh siswa yang tinggal kelas maupun siswa pindahan. Perlahan status bagak itu turun secara drastic. Terakhir saat saya duduk di bangku kelas V, selalu diganggu oleh teman sekelas saya yang merupakan murid yang tinggal kelas, saya selalu menghindar dari dia, kadang-kadang untuk menghindarkan diri dari gangguannya saya keseringan pulang ke rumah. Memang pada saat Sekolah Dasar itu yang unik adalah selalu menonjolkan kebagakan. Menurut saya budaya inilah yang selalu menular sampai pada pendidikan berikutnya yang menyebabkan banyaknya terjadi perkelahian antar siswa.
Prestasi pendidikan saya pada waktu SD tidak terlalu menonjol, hanya 1 kali saja mendapatkan juara 1 di kelas, kemudian hanya juara II, juara III dan juara IV. Tapi menurut saya dan beberapa orang lain bahwa yang akan mendapat juara 1 itu adalah anak guru atau orang dekat dengan guru. Fakta membuktikan bahwa teman saya yang juara 1 di SD itu tidak mendapat juara di SMP. Juara 1 itu saya peroleh pada saat saya duduk di Kelas IV. Pada waktu SD itu dalam pelajaran agama memang saya selalu diunggulkan. Di SD saya kalau sudah Kelas IV, V, VI ada belajar tambahan dalam satu hari yaitu belajar Agama tambahan. Pada waktu azan dan imam shalat selalu saya diberikan menjadi imam dan muazin, meskipun ada teman saya yang merupakan anak dari salah seorang buya atau Tuanku yang mengajar di Punggung Kasik. Kepercayaan guru dan teman-teman serta potensi dan penampilan saya yang sedikit keulamaan. Memang secara keturunan, saya merupakan keturunan Tuanku, meskipun orang tua saya hanya berstatus sebagi urang siak pandai dikia atau orang menyebut-nyebut dengan panggilan labia. Modal seperti itulah yang membuat saya yakin akan potensi saya untuk dapat mengembangkan diri melalui pendidikan agama .
Pada waktu SD meninjau kepemimpinan saya, dapat saya telusuri melalui beberapa kegiatan dengan teman-teman sebaya. Dalam beberapa permaian saya selalu ditmpilkan oleh teman-teman saya sebagai ketua atau yang mengatur. Di Kampung Tangah, dalam mengadakan perlombaan layang-layang Pau-pau saya dipercaya menjadi ketua dan sekaligus sebagai penilai terhadap penampilan dan ketinggian layang-layang yang kemudian ditetapkan pemenangnya. Hadiah juara satu pada waktu saya ditunjuk menjadi ketuanya adalh 1 botol limon dan 2 buah roti, kemudian juara dua dengan hadiah 1 buah lemon dan untuk juara tiga dengan hadiah satu bungkus roti. Pada waktu itu uang insepnya sebesar Rp 50. Kegiatan itu berjalan cukup lama dan terputus setelah saya melanjutkan studi saya ke Pondok Pesantren.
Pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang saya lakukan pada saat saya masih duduk di bangku  SD adalah bekerja sebagai tukang cat dan dompol dropon  atau galuang rumah, kemudian tongkak rumah, kemudian terali dan lain-lain pada usaha bangunan Ajo Syawal yang tidak begitu jauh dari rumah tempat saya tinggal. Pekerjaan itu berjalan sewaktu saya sudah duduk di bangku kelas IV SD. Jadi pada waktu itu setiap malam Minggu sama dengan pekerja lainnya saya menerima gaji dan dapat membeli apa yang sudah direncanakan sesuai dengan jumlah gaji yang diterima. Memang pada saat itu saya merasa bangga bahwa saya telah dapat berdiri, mandiri dalam membeli kebutuhan saya termasuk kebutuhan sekolah saya, sebab kondisi perekonomian orang tua saya juga tidak berkecukupan. Kami sekeluarga hidup dalam kondisi berkecukupan, namun kondisi seperti itu membuat kami sekeluarga menjadi terlatih untuk berpandai-pandai dalam memenej keuangan dan menuntut saya secara pribadi untuk dapat juga tampil seperti anak-anak lainnya. Hasil dari pekerjaan saya itu saya tabungkan, bahkan saya tabungkan dalam bentuk emas. Budaya seperti itu terbangun dengan  meneladani prinsip hidup dari orang tua perempuan saya (amak). Beliau sangat pandai berhemat dan menyimpan pada saat lapang dan antisipasi kalau tiba masa krisis. Setahun kurang bekerja pada Usaha Bangunan Ajo Syawal, saya beralih pekerjaan menjadi penjual Cimangko di Pasar Lubuk Alung yang dibawa oleh teman saya Uncu dan Anih. Induak Samang saya adalah Ni Mai orang Da Jang. Pekerjaan berjualan itu semula hanya merupakan ajakan dari salah seorang teman saja, tetapi melihat hasilnya langsung diterima pada hari itu juga, maka saya menjadi tertarik menjadi penjual cimangko di jalan-jalan pasar Lubuk Alung. Dan itu berlangsung cukup lama, namun kadang-kadang saya tukar barang jualan yaitu menjual Es, Tabu dan juga Talua Asin. Penghasilan yang saya dapatkan ketika menekuni sebagai penjual jojoan di Pasar itu cukup lumayan, bahkan saya dapat membeli baju dan juga dapat membantu orang tua. Hasil tabungan saya dari penghasilan sebagai penjual cimangko cukup besar. Di samping itu saya juga berkenalan dengan pedagang dan penjojo lainnya. Tapi peristiwa yang selalu teringat oleh saya adalah saya ditabrak oleh sebuah sepeda motor ketika menjojo cimangko di Pasar Lubuk Alung, membuat cimangko say berserakan dan saya luka-luka lecet. Kejadian itu tetap saya tahan sendiri dan hanya induak smang saya saja yang tahu, karena saya harus melaporkan kondisi jaga (cimangko) yang sudah berserakan. Orang tua saya tidak saya kasih tahu, karena saya takut, nanti kalau dikasih tahu, beliau akan melarang saya untuk berjualan. Kemudian ketika saya mencoba untuk menjual Telur Asin, tetapi teman-teman yang juga menjual Telur Asin yang sudah senior, marah kepada saya ketika  telur Asin yang saya jual  dibeli oleh orang yang mempunyai mobil sedan dengan jumlah yang banyk, tetapi penjual telur asin yang senior tadi juga mencoba untuk membagi agar telurnya juga dibeli   oleh pemilik sedan tersebut, tapi beliau lebih memilih saya karena saya terlebih dulu menawarkan telur tersebut kepada beliau. Seterlah selesai transaksi, penjual telur senior ini marah sama saya dan saya dilarangnya untuk menjual telur. Maka setelah peristiwa itu saya tidak mau lagi menjual telur asin. Kemudian pada saat saya menjual es dengan cara mengejar-ngejar Bus Kawan, Alisma dan lain-lain yang masuk dari Padang ke Pasar Lubuk Alung menuju Pariaman, maka dalam pengejaran itu hamper saya jatuh, begitu juga pada saat turun dengan kondisi bus yang tetap kencang dan model lompat saya juga salah, hampir saya terlempar dari mobil yang telah saya kejar sebelumnya. Itulah beberapa pengalaman saya sewaktu berjualan di Pasar Lubuk Alung. Pada saat pulang dari jualan saya membawa oleh-oleh pada orang tua saya dalam bentuk cimangko, es dan telur asin sisa yang tidak terjual. Pada saat berjualan kalau bertemu dengan famili atau teman saya memberikan cimangko kepada mereka dengan gratis, karena system pengmbilan jualan itu ada yang berbentuk berapa jumlah hasil yang didapatkan kemudian diberikan kepada saya sepuluh persen dari hasil penjualan tanpa harus menghitung berapa jumlah yang terjual. Tetapi kalau kita membeli cimangko lalu kita jual itu berarti kita menjualkan cimagko kita yang telh dibeli sebelumnya. Kalau tidak terjual habis akan berakibat tidak kembali modal pembelian.
Pada saat duduk di pertengahan bangku kelas VI SD, saya menghentikan aktifitas saya sebagai penjual dagangan di Pasar, saya kembali pada pekerjaan semula yaitu usaha bangunan Ajo Syawal bersama dengan teman saya yang bernama Anto.    
Saya kembali diterima bekerja pada tempat semula sampai saya melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren. Hasil dari pekerjaan itu, saya dapat membeli lemari baju yang akan saya gunakan nanti di Pesantren yang dibuat oleh Ajo Midi. Di samping itu dengan hasil pekerjaan saya pada Usaha bangunan Ajo Syawal, saya telah dapat mempersiapkan semua yang akan dibutuhkan secara fisik di Pesantren. Di samping bekerja selepas sekolah, namun saya juga tidk menghentikan aktifitas rutinitas saya yaitu belajar mengaji di Surau atau di di rumah ungku pada malam harinya. Dan kegitan serta mengikuti permainan dengan teman sebaya juga tidak ketinggalan. Pada waktu main saya sering bersama si Ir, sama si Mul, kemudian bersama sedi dll.
Permainan dengan teman-teman itu ada dalam bentuk kesenian, saya pernah buat sebuah drum dengan seng dan bernyanyi bersama diiringi dengan musik olahan dan bikinan sendiri. Suasana semasa kecil memang saya nikmati bersma teman-teman, tetapi itu tidak begitu lama seperti apa yang dirasakan oleh teman-teman saya yang lain, karena selepas tamat SD saya harus merantau ke negeri orang untuk menuntut ilmu meninggalkan kampung halaman, orang tua, adik-adik, permaian dan teman-teman sepermainan. Sewaktu saya belajar di Pondok Pesantren, intensitas pertemuan saya dengan teman-teman sepermainan sebelumnya tidak begitu ada, bahkan bias dikatakan tidak ada, karena saya dilarang oleh orang tua saya bergaul dan bermain di lapau-lapau, karena saya orang yang sedang belajar ilmu agama. Hal itu dilakukan orang tua saya agar saya tidak ikut terpengaruh dengan pergaulan premanisme, perjudian dan lain-lain yang selalu akrab mewarnai lapau-lapau.
Akibat dari kebijakan itu saya agak berjarak dengan teman-teman sebaya saya, seakan-akan mereka merasa malu bergurau dan bergarh seperti dulu dengan saya, karena status social saya seakan-akan telah berubah di tengah masyarakat. Bahkan teman se SD saya seperti tidak kenal lagi dengan saya. Memang timbul pemikiran dan pertanyaan dalam benak, apa yang menyebabkan ini semua, apakah saya sombong atau status social yang membuat saya berjarak. Tapi memang karena saya kader ulama, maka tidak bias bergaul dengan sembarang orang saja.
Di Pondok Pesantren
Setelah menamati Sekolah Dasar pada Tahun 1992, maka saya melanjutkan pendidikan berikutnya ke sebuah Desa yang bernama Ringan-Ringan. Di desa itu hiduplah seorang Ulama yang mempunyai banyak murid. Ulama itu adalah Syekh Haji Ali Imran Hasan yang memimpin sebuah lembaga pendidikan agama yang bernama Pondok Pesantren Nurul Yaqin. Di Pondok Pesantren yang terletak di tepi rel kerata Api tidak begitu luas, bahkan hanya berbentuk tumpukan bangunan yang sedikit pengab. Di tempat itulah saya diterpa dengan berbagai macam jenis ilmu pengetahuan agama yang dipandu oleh Ulama-ulama muda yang merrupakan tamatandari pondok pesantren itu juga.
Saya datang ke Pondok Pesantren itu pada hari Minggu, bulan Juli 1992 yang tanggalnya saya sudah lupa dan tidak ingat lagi. Saya berangkat dari rumah diiring oleh kedua orang tua saya sambil membawa lemari yang telah saya beli dengan uang yang saya dapatkan selama saya bekerja semasa masih duduk di Bangku SD. Lemari itu yang akan digunakan selama saya belajar menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren. Kemudian saya juga membawa bungkusan yang berisi pakaian dan alat kelengkapan lainnya yang akan dibutuhkan seperti beras dan beberapa bungkus sambal, sambil membawa gantang yang berisi nasi dan lauk pauk yang akan digunakan untuk mendoa sebagai tanda awal masuk atau diterima Abuya sebagai guru atau disebut juga serah terima orang tua saya kepada abuaya selaku pimpinan pOndok Pesantren. Logikanya saya akan meninggalkan orang tua kandung saya dan buat sementara peran itu digantikan oleh Abuya sebagai ayah dan sekaligus guru saya yang akan memdampingi saya selama belajar.Setibanya saya di Pesantren saya disambut oleh kakak saya yang lebih dulu belajar di sana. Kemudian dilanjutkan dengan mendoa, setelah mendoa saya diantarkan ke ruangan Surau Bawahsebagai tempat asrama saya. Di sana kakak saya telah mempersiapkan sebuah bangku tempat tidur yang telah siap untuk saya tiduri. Setelah membongkar semua bekal yang telah saya bawa dari kampong, maka saya bersama orang tua saya istirahat sejenak, kemudian orang tua saya meninggalkan saya, maka tinggallah saya dengan suasana baru.
Hari telah menunjukan jam 13.00 siang, maka say disuruh kakak saya untuk mandi dan shalat zhuhur. Setelah selesai shalat zhuhur, maka saya disuruh kakak saya untuk masuk ke Lokal yang berisi santri yang bari, tapi usianya beragam. Dalam benak saya, saya bertanya “kok besar-besar teman sekelas saya ini”. Sa ya jadi heran, karena local yang saya masuki beragam tingkat usianya. Saya malah ragu masuk dan takut jangan-jangan salah masuk. Lalu diajak oleh teman yang lain akhirnya saya masuk. Kemudian saya mengikuti pelajaran yang diberikan guru/ Tuanku. Pada waktu itu guru saya itu bernama Busyarli. Pelajaran pertama adalah terjemahan Al Quran. Setalah belajar makna atau terjemah Al Quran, akhirnya masuk pada pelajaran kedua yaitu pelajaran Fiqh. Setelah Tuanku Busyarli membacakan makna dari Kitab Fiqh yaitu Kitab Matan Taqrib beberapa kali, lalu secara spontan, beliau menyuruh saya untuk membacakan artinya seperti yang dibaca, saya kaget dan terkejut sedikit gementaran. Dengan mengumpulkan semua energi yang saya miliki, maka saya mencoba untuk membacakan kembali apa yang telah dibaca oleh Tuanku Busyarli. Dalam membaca Kitab Fiqh itu dalam pemikiransaya seakan sama dengan membca Al Quran. Dengan percaya dirinya, saya membaca dengan membawakan irama yang selama ini saya pelajari di Surau, tetapi kemudian saya terkejut mendengarkan perkataan Tuanku Busyarli “ Hei, bukan seperti itu bacanya, karena yang dibaca bukan Al Quran, tapi Kitab Fiqh”. Dengan sedikit mengeluarkan keringat, akhirnya saya terdiam. Dalam keheningan itu, Tuanku Busyarli menyuruh saudara Yatno yang sudah lama belajar dengannya untuk membacakan terjemahan dan bacaan Kitab Fiqh tersebut. Kasus seperti ini sedikit membuat saya sock, bahkan bermuara pada sebuah kebencian. Sampai sekarang peristiwa itu membuat saya benci dan sedikit marah kepada Tuanku Busyarli.
Kemudian, karena saya santri yang sekolah, maka untuk belajar berikutnya saya masuk kelas malam. Pada kelas malam, saya bertemu dengan Tuanku Abdul Malik sebagai guru saya yang juga tercatat sebagai pengurus. Kemudian tidak selang berapa lama kemudian, Tk Abdul Malik digantikan oleh Tuanku Mailiyus yang sedikit agak lunak dan lembut terhadap santriwati, yang pada akhirnya banyak di antara teman sekelas saya yang perempuan naksir dan menggoda Tk Mailius ini.
Tidak berapa lama belajar, lalu sampailah saya pada sebuah kegiatan Khutbatul Iftitah alias Khuttah sebagai acara penyambutan terhadap santri atau murid baru. Dalam pelaksanaan Khuttah, semua santri harus menyiapkan semua perlengkapan yang akan dipergunakan selama pelaksanaan Khuttah. Khutta itu dimulai pada hari Juma’at sore dengan dibuka dalam sebuah acara Upoacara pembukaan secara resmi oleh Pengurus. Setelah selesai mengikuti upacara, masing-masing santri akan dipersiapkan untuk mengikuti tes mental oleh senior yang dilaksanakan dalam sebuah ruangan tertutup. Setelah selesai melaksanakan shalat maghrib secara berjamaah, maka seluruh santri baru, berkumpul di halaman Pesantren untuk memasuki ruangan Suarau Randah yang sudah ditutup sebelumnya oleh paniatia. Kondisinya orang luar tidak dapat melihat dan mendengar apa yang terjadi dalam ruangan tersebut.
Satu persatu santri bari dipanggil oleh panitia untuk memasuki ruangan surau randah tersebut. Kemudian sudah separoh dari teman-teman saya masuk ke dalam ruangan surau randah tersebut, maka datanglah panggilan untuksaya memasuki ruangan surau randah. Di dalam ruangan itu saya temukan kakak-kakak senior yang sebagiannya sudah saya kenal, tapi penampilan mereka berbeda. Ada yang pakai bedak beras dengan tebal, kemudian ada yang yang memakai pakaian preman. Seakan-akan dalam ruangan itu ada jalur-jalur yang harus diikuti, jika lulus pada satu pos, maka akan mengikuti pos berikutnya. Tapi yang terjadi pada saya adalah ketika baru masuk , saya digertak dengan suara hardikan. Sebagaian diantara mereka bertanya” Untuk apo ang pai ka mari, lalu dengan lugu saya menjawab” Saya dating ke sini untuk mengaji , menuntut ilmu agama”. Namun suara mereka tidak bertamabh kecil ketika saya jawab tapi malah sebaliknya suaranya bertambah tingggi. Banyak pertanyaan yang berputar-[utar tentang masalaha alas an saya untuk mengaji, kenapa harus di Nurul Yaqin dan lain-lain. Kemudian saya terus ke pos berikutnya. Pada pos itu dijaga oleh senior yang sebelumnya sudah saya kenal namanya, karena dia pernah meminta sambal pada saya. Dia bertanaya” lai tau ang jo den.Lalu dengan percaya dirinya saya menjawab” saya kenal dengan kakak, nama kakak Herman khan”. Lalu dia membenttak saya, ”ba sia ang ka den , ba herman se ang nyeh yeh, lah samo gadang wak” Akhirnya semua yang saya jawab itu tidak ada yang benar dalam pandangan senior itu. Semuanya da saja salahnya. Begitunya seterusnya dalam mengikuti masing-masing pos yang ada dalam rauangan tersebut, bahkanm kadang kala saya harus kembali ke semula, disebabkan karena tidak hafal nama senior yang duduk pada pos sebelumnya.
Pada keesokan harinya, saya mengikuti semua tahapan dari penyelenggaraan Khuttah tersebut.  Pelaksanaannya hampir sama dengan ospek di perguruan tinggi. Ada latihan PBB, merayap-rayap kalau ada kesalahan. Di samping itu ada acara hiburan dan pengembangan kreatifitas individual, mulai dari pengetahuan atau keterampilan dalam bidang mengaji iram, pidato dan tampil ke depan seperti puisi atau nyanyi. Semua berjalan dalam bentuk pengembangan diri. Di penghujung acara ada pemilihan peserta yang terbaik dalam bentuk King dan Quen atau istilahnya Raja dan Ratu. Orang yang terpilih menjadi King dan Quen adalah orang yang aktif dan banyak tampil ke depan. Di antara panitia ada yang menilai perkembngan dan penampilan santri baru selama mengikuti acara. Penilaian itu menghasilkan King dan Quen, beserta Hulu Balang dan Dayang-dayang Raja. Dalam acara Khuttah itu, saya yang berbadan kecil dan memang masih kecil, terpilih menjadi King dengan Quennya Mahfudzatul Husni yang sudah duduk di bangku Madrasah Aliayah Negeri (MAN) Lubuk Alung. Terpilihnya saya menjadi Raja alias King tak terlepas dari keaktifan dan keseringan saya tampil ke depan. Bahkan ada salah seorang senior menyuruh saya memakai baju besar danmelawak atau melucu di hadapan para peserta. Memang pada saat itu badan saya kecil dan imut-imut. Pokoknya semua gerak-gerik saya mengandung lawak yang bikin orang tertawa. Potensi itulah yang mengantarkan saya menjadi Raja, meskipun Quen atau permaisuri saya orang yang sudah besar, dimana saya memanggilnya pada hari biasa sebagai Uni. Tapi karena saya terpilih menjadi Raja dan dia menjadi permaisuri saya, tentu saya memanggilnya dengan sebutan istri yang malah bikin orang tertawa terbahak-bahak. Pada waktu acara penutupan itu yang sebelumnya diadakan api ungggun dan renungan suci sambil nangis-nangisan. Maka setelah acara itu saya dibawa ke kantor bersama dengan permaisuri, hulubalang dan dayang-dayang saya. Kami diberi pakaian layaknya seperti pemuka kerajaan. Dan saya diberi keris sebagai pertanda lambang raja. Jadi karena saya masih keci;l, tentu logika kepemimpinan saya tentu belum maksimal. Maka semua pembicaraan saya hanya merupakan pembicaraan ulang dari pengurus yang berbisik di belakang layer.”Wahai rakyatku, bagaimana kondisi keamanan di sekitar kita, apa masih stabil atau ada gangguan”. Maka salah seorang rakyat saya melaporkan bahwa di daerahnya ada pengacau yang selalu mengganggu keamanan daerah. Mereka adalah semua panitia yang telah memberikan hukuman kepada mereka. Lalu saya memerintahkan Hulu baling saya untuk menangkap para pengacau itu untuk diberi hukuman.(para panitia). Maka para hulubalang saya mengumpulkan mereka di hadapan rakyat. Pada saat itu semua pengacau minta ampun dan amnesty kepada saya supaya semua kesalahannya dimaafkan. Dengan berbagai cara dia membujuk saya untukdiampuni, bahkan mereka juga menggoda permaisuri say untuk memintakan maaf kepada saya. Tapi karena tuntutan dari rakyat saya utuk menghukum mereka, maka dengan marah saya mengeluarkan keris untuk mengancam mereka. Pada akhirnya saya menjatuhkan hukuman kepada mereka sesuai dengan keinginan rakyat saya. Ada yang dihukum gantum, ada yang dipenjarakan. Semua yang saya lakukan sebgai raja ada pembisiknya di belakang, karena saya sendiri juga tidak tahu alur ceritanya. Tapi yang membuat saya menjadi tertwa sekarang adalah mengingat saya marah kepada para pengacau itu, saya keluarkan keris, maka mereka diam ketakutan. Jadi saya berkesimpulan, dengan terpilihnya saya sebagai rja mengisyaratkan bahwa saya ada potensi menjadi pemimpin. Meskipun secara usia dan postur tubuh saya kecil, tapi dalam penilaian panitia bahwa saya ada bibit menjadi pemimpin. Kejadian itu membuat saya percaya diri untuk menjadi pemimpin dlam berbagai organisasi. Seminggu setelah Khuttah itu sya masih dianggap menjadi raja. Tpi sebulan setelah itu ada acara penutupan Khuttah dengan pemberian hadiah kepada para sepuluh besar. Acaranya di meriahkan dengan penampilan drama. Dalam daram itu saya juga menjadi salah seorangaktor atau pemain. Daram itu bercerita tentang beberapa siswa tamatan SD ingin melanjutkn sekolah ke sekolah yang lebihtinggi. Maka ada yang berperan utnuk memilih SLTP dan ada yang ingin masuk Pesantren. Daram itu berbentuk dialogis. Kemudian ada acara hiburan ketawa-ketiwinya yaitu acara pertandingan tinju. Orang yang berbadan besar (TK Khusyairi) berhadapan dengan orang berbadan kecil yaitu saya. Maka dalam pertandingan itu sya masuk ke dalam kerampangnya. Hal itu bikin penonton tertawa. Ditambah dengan gaya wasitnya Zul Fadhli anak Batu Sangkar dengan berpakaian perempuan dan menggoyang-goyangkan pinggulnya, bikin semua penonton tertawa dan bertepuk ria.
Kegiatan yang dilibatkan kepada saya kebanyakan ada nuansa hiburan dan humor. Memang saya dselama di Pesantren termasuk orang yang digemari dan disenangi baik laki-laki maupun perempuan. Alhamdulillah ketika kelas satu di Pesantren saya mendapat rengking satu kembar dengan Yultel Ardi anak bungus Padang, diaman kakaknya Tk M.Yusuf orang pintar di Pesantren tersebut dan di MTsS saya mendapat juara dua, dima juara satunya Masriadi anak Malalo. Di Osis ketika masih kelas satu, saya menjadi ketua seksi Kesenian. Dalam berbagai kegaiatn kesenian saya tampil. Kemudian ketika saya duduk di Kelas dua, saya terpilih menjadi Ketua Osis di MTsS. Dalam memberikan sambutan harus di sambung kaki saya di podium, karena saya masih kecil dan pendek. 
Tambahan
Rahmat Tk. Sulaiman dilahirkan di Punggung Kasik Kenagarian Lubuk Alung dari pasangan Zamuir dan Syamsiar pada tanggal 12 April 1980. Rahmat merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Menamatkan pendidikan Sekolah Dasarnya pada SD 06 Punggung Kasik pada tahun 1992. Semasa SD dipercayakan menjadi wakil ketua kelas sampai tamat. Kemudian dalam usia 12 tahun setelah menamatkan SD, meninggalkan kampung halamannya serta teman sepermainannya untuk menuntut ilmu di Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan. Di samping nyantri dan mondok di Pesantren Nurul Yaqin, Rahmat juga belajar di Madrasah Tsanawiyah Ringan-ringan fillial MTsN Kepala Hilalang dan tamat pada tahun 1995. Setelah tamat tingkat Tsanawiyah, melanjutkan studinya ke SMUN 2 2X11 Enam Lingkung dan tamat pada tahun 1998.
Pada saat duduk di kelas dua SMU, Rahmat dapat menamatkan pelajaran di Pesantren Nurul Yaqin tingkat kelas tujuh dalam waktu lima (5) tahun. Hal itu terjadi karena pada saat akan duduk di kelas lima, ternyata diterima langsung di kelas tujuh, tanpa harus belajar di kelas lima dan enam. Pelajaran yang harus ditamatkan dalam masa tujuh tahun, dapat dipersingkatnya dalam masa lima tahun dengan nilai terbaik dan lulusan termuda. Dengan lulusnya pada kelas tujuh, maka kepadanya diberi gelar sosial keagamaan yaitu Tuanku Sulaiman. Gelar itu merupakan gelar pusaka ninik moyangnya yang terdahulu dan dikukuhkan oleh gurunya di hadapan gubernur, bupati dan masyarakat luas yang hadir pada acara pengukuhan gelar tersebut. Dalam acara pengukuhan gelar tersebut, beliau juga yang mewakili lulusan untuk memberikan sambutan serta pesan dan kesan. Bahkan sambutan beliau juga dikomentari oleh gubernur dan bupati yang berkenaan dengan kesiapan ulama dalam menghadapi era globalisasi dan teknologi informasi.
Semasa SMU sudah banyak tropy yang diperolehnya dari berbagai kegiatan perlombaan. Untuk lomba pidato antar SMU se Sumbar mendapat juara I dan sudah beberapa kali mengikuti MTQ tingkat Propinsi Sumbar dalam bidang Hafidz Al Qur’an, Khutbah Jumat dan lain-lain. Setelah tamat dari SMU, beliau melanjutkan kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang pada Fakultas Dakwah dengan jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan juga terpilih menjadi ketua Kosma KPI. Merasa belum puas dengan ilmu pengetahuan di satu perguruan tinggi, beliau juga kuliah di Universitas Andalas Padang pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dengan jurusan Sosiologi dan menamatkan keduanya pada tahun 2003. Dengan kuliah di dua perguruan tinggi negeri di Kota Padang, beliau mempunyai mobilitas rutinitas yang sangat tinggi dan pada akhirnya mengasah beliau dalam memenej waktu. Di FISIP Unand beliau dapat menamatkan studinya selama 3 ½ (tiga setengah) tahun dan wisuda bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke 23 tahun yaitu 12 April 2003 dan mendapat penghargaan sebagai mahasiswa terbaik dan teraktif dalam berorganisasi dengan mendapat sertifikat dan bingkisan dari Dekan FISIP. Di IAIN IB dapat pula menamatkan kuliah dalam 8 (delapan) semester dengan satu semester istirahat dan diwisuda pada bulan Mei 2003.
Semasa mahasiswa beliau juga aktif mengikuti perlombaan, bahkan beliau diutus untuk mengikuti lomba Hafidz mahasiswa tingkat nasional di IKIP Gorontalo serta mendapat juara lomba pidato mahasiswa tingkat sumbar dan lomba debat mahasiswa. Setelah menamatkan kuliah S.1 di dua perguruan tinggi negeri di Padang, beliau melanjutkan studinya pada Strata 2 di Universitas Negeri Padang dengan Program Magister Manajemen (S.2) konsentrasi Manajemen Pemasaran dan tamat pada bulan Maret 2005. Dengan demikian lengkap sudah ia menikmati pendidikan kuliah di tiga perguruan tinggi negeri bergengsi di Sumatera Barat, mulai dari IAIN IB, UNAND dan UNP.
Di samping berhasil dalam studi, namun beliau juga tidak lupa pula menyediakan waktu untuk berorganisasi. Sudah banyak organisasi sosial kemasyarakatan yang digelutinya seperti menjadi Ketua DPC PUDI Padang Pariaman 1999-2003, Anggota PPD II Padang Pariaman 1999, Ketua Umum Himpunan Pemuda-Pemudi Mesjid Raya (HIPPEMER) Punggung Kasik 2000-2002, Ketua Divisi Pelatihan dan Penelitian Labor Sosiologi FISIP Unand 2002-2003, Wakil Sekretaris Himpunan Pencinta Seni Al Quran (HIPSAL) 2002-2004, Pimpinan Umum Tabloid Minang Independent F. Dakwah IAIN IB Padang 2002, Pimpinan TPA-TPSA Surau Dingin Punggung Kasik 1997 – 2000, Pimpinan TPA-TPSA Nurul Huda Lubuk Alung 2000 – Sekarang, Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Padang Pariaman 2004-2005, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Alumni Pondok Pesantren Nurul Yaqin 2003-2005, Ketua Pembina Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Padang Pariaman 2005-2007, Ketua Umum Ikatan keluarga Besar Alumni SMA 1 Enam Lingkung 2005-2008, Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Sumbar 2005-2009, Sekretaris Umum Pembangunan Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lubuk Alung 2005-2010, Ketua Pembina Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Padang Pariaman 2005-2010, Komisi Agama Persatuan Sikumbang Sakato Wilayah IV (Lubuk Alung, Batang Anai dan Sintuk Toboh Gadang), Dewan Penasehat Urang Ampek Jinih Rantau Pasisia Padang Pariaman, Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) Padang Pariaman 2005-2010.
Rahmat Tk Sulaiman dilahirkan dari keluarga yang kuat menganut adat istiadat, di desa dalam wilayah Kecamatan Lubuk Alung. Nilai-nilai tradisi adat istiadat menyatu dalam kegiatan masyarakat tempat tinggal rahmat. Tradisi sosial keagamaan yang tertanam  kuat dalam keluarga melalui pendidikan yang diberikan ayah dan diperkuat dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Belajar baca Quran dengan seorang guru yang bernama Tuanku Lunak, yang juga punya kontribusi membentuk kepribadian berbasis tradisi. Dari tuanku lunak, dikonstruksilkan secara kultural bahwa seorang tuanku yang disebut ulama oleh masyarakat padang pariaman terdeskripsikan dengan ciri-ciri fashion berkupiah, mempunyai surau dan seperti layaknya tuanku yang disaksikan di padang pariaman. Secara amaliah diikat dengan mazhab syafii, aliran tariqat syatariah,  berfaham ahlussunnah wal jamah, praktek keagamaan turun temurun. Dalam aktifitas sosial dan pekerjaan hanya terfokus pada kegiatan mengajar mengaji, mendoa dan jenis lainnya.
Untuk bisa mewariskan tradisi keberagamaan yang dipahami oleh bapak saya, saya disekolahkan pada lembaga pendidikan pondok pesantren yang bernama Pondok Pesantren Nurul Yaqin yang dipimpin oleh seorang ulama yang juga kuat mewarisi nilai-nilai ketuankuan yang sudah terkonstruksi selama ini yaitu Buya Syekh H Ali Imran Hasan Tuanku Mudo yang bertempat di Desa Ringan-ringan Pakandangan. Dengan bersekolah di pesantren tersebut rahmat diharapkan juga bisa menjadi tuanku seperti yang lainnya, yang bisa mewarisi tradisi keagamaan dan peran sosial masyarakat lainnya. Namun pesantren justru membuka cakrawala berpikir rahmat lebih luas, secara perlahan mulai melakukan transformasi dan menggeser definisi seorang tuanku ke arah lebih luas. Proses itu ditandai dengan memilih SMA setelah tamat MTs.
Anak pesantren masuk SMA
Seperti tradisi yang berlaku secara umum di pesantren bahwa jalur pendidikan umum yang ditempuh anak pesantren itu adalah, MTs, MA kemudian IAIN. Lain halnya dengan rahmat, justru memilih melanjutkan studi ke SMA berbeda dengan pilihan kebanyakan anak pesantren. Tentu pilihan rahmat untuk melanjutkan studi umumnya ke SMA bukannya tidak beralasan. Minimal alasan itu berdasarkan pertimbangan pengembangan potensi.
Rahmat menilai dan beranggapan 1. bahwa sekolah umum adalah wadah aktualisasi dan pengembangan potensi anak pesantren di bidang keagamaan. 2. bahwa sekolah di MAN secara materi keilmuan, tradisi pendidikan dan pergaulan sosial tidak punya perbedaan signifikan dengan pesantren. Dengan memilih sekolah di SMA, rahmat beranggapan akan mendapatkan perspektif yang berbeda, tradisi keilmuan dan pembelajaran yang berbeda serta tradisi pergaulan sosial yang berbeda, yang muara akhirnya membuat kaya khazanah keilmuan, menghargai keberagaman. Hidup dan bergaul dengan komunitas yang beragam cara berpikir, bersikap dan bertingkah lakunya akan membentuk kepribadian yang toleran, moderat, menerima dan menghargai keberagaman sebagai fitrah serta membentuk kematangan sosial. 
Secara nyata anggapan rahmat tentang pilihannya untuk masuk SMA benar adanya. Dalam hal pengembangan bakat dan potensi diri misalnya berbekal pendidikan pesantren, tentu punya keunggulan dalam aspek keagamaan. Dalam  hal pembacaan doa setiap upacara, membaca Al quran dan protokol pada setiap acara Peringatan Hari Besar Islam selalu tampil. Kondisi itu memperlihatkan eksistensi rahmat di mata sekolah punya nilai lebih. Rahmat kemudian dipercaya menjadi pengurus OSIS seksi Ketuhanan YME (keagamaan). Tidak hanya itu berbekal pendidikan pesantren rahmat sering sekali mewakili SMA dalam perlombaan MTQ, pidato keagamaan, pidato perjuangan dan lomba puisi. Sudah banyak sumbangan tropi kemenangan mengharumkan nama SMA. Meskipun SMA tidak punya kontribusi besar dalam hal keilmuan dan pendidikan keterampilan dalam bidang-bidang lomba tersebut. Maka sangat tepat dikatakan SMA ini adalah wadah dan ladang aktualisasi bakat dan potensi.
Jika masuk ke MAN dengan kemampuan dan keterampilan yang hampir merata di kalangan siswa, akan mempersempit ruang aktualisasi potensi dalam berbagai event perlombaan, baik tingkat kabupaten maupun tingkat propinsi. Lain halnya dengan di SMA, di samping kompetitor sedikit, kemudian punya bakat dan potensi menonjol membuat kesempatan ini selalu berada pada kita. Bahkan prestasi yang saya raih dalam berbagai perlombaan meraih juara I lomba pidato tingkat propinsi sumatera barat mewakili Kabupaten Padang Pariaman dan mengangkat nama SMA. Bahkan ketika meraih juara I lomba pidato tingkat Propinsi Sumatera Barat diterbitkan beritanya pada koran harian singgalang, saat melapor dan diterima kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Padang Pariaman. Dalam berita koran itu juga rahmat dinyatakan sebagai juru kampanye (jurkam) cilik dari kalangan pelajar untuk Golkar. Tahun itu bertepatan dengan persiapan pemilu tahun 2007 masih zamannya orde baru.
Berbekalkan prestasi yang diraih rahmat, kemudian rahmat mendapatkan berbagai beasiswa seperti beasiswa dari Bank Tabungan Negara (BTN) yang diambil melalui pos sicincin setiap bulannya. Pendidikan pesantren yang berbuah prestasi di sekolah umum (SMA) memberikan kemudahan dalam biaya sekolah rahmat, di tengah-tengah himpitan kemiskinan yang masih menyandera keluarga rahmat. Namun rahmat tidak banyak membebankan orang tua, karena menemukan jawaban bahwa pendidikan yang membayar biaya pendidikan. Artinya prestasi yang diraih di tempat belajar itu yang membayar biaya pendidikan.
Di samping tersalurkannya bakat rahmat dalam berbagai bidang perlombaan dibuktikan berbagai prestasi yang diraih mengharumkan nama sekolah, di SMA itu juga terwadahinya potensi kepemimpinan rahmat dalam berorganisasi. Meskipun dalam hal berorganisasi bukan sesuatu yang baru bagi rahmat,  sebab semasa duduk di bangku MTs rahmat pernah menduduki pimpinan organisasi yang bergengsi di sekolah yaitu menjadi ketua OSIS pada saat duduk di kelas 2, pada saat kelas 1 nya sudah menjadi ketua seksi keagamaan. Namun berorganisasi pada komunitas yang latar belakang status sosial, pemikiran dan tradisinya beragam, komplek seperti di SMA menjadi tantangan tersendiri bagi rahmat.
Tentu perjuangan dan polanya berbeda serta pihak berkepentingannya juga banyak. Perjuangan itu tidak semudah saat saya dipercaya menjadi pucuk pimpinan OSIS di MTs. Meskipun saya sudah diorbitkan dan dipersiapkan SMA untuk menjadi calon Ketua OSIS SMA,  dengan mengutus saya sebagai calon ketua OSIS bersama Andres ketua OSIS Incumbent (yang menjabat) pada kegiatan temu karya OSIS se Sumatera Barat yang bertempat di Jawa Gadut Limau Manis Kota Padang yang dilaksanakan selama 3 hari, mulai jumat dan diakhiri hari minggu dengan peserta seluruh SMA se Sumatera Barat dengan peserta masing-masing sekolah 2 orang terdiri dari ketua OSIS Incumbent (yang menjabat) dengan calon ketua OSIS yang akan dipersiapkan dan rahmat bagian dari calon ketua OSIS yang diorbitkan, dikader atau yang dipersiapkan.
Pertarungan perebutan posisi ketua OSIS di SMA kami tidak melalui pemilihan raya atau pemilihan langsung oleh semua siswa tetapi melalui sistem perwakilan dalam Majelis Perwakilan Kelas. Rata-rata yang berada dalam keanggotaan MPK adalah berasal dari SMP Pakandangan. Maka hasil pemilihan dari MPK itu menetapkan Akhirman yang nota bene alumni SMP Pakandangan sebagai ketua OSIS SMA. Hasil itu memang sudah saya prediksi, sebab jaringan alumni dan pertemanan mempunyai peranan penting dalam pemilihan ketua OSIS SMA dan dalam sejarahnya ketua OSIS di SMA kami tidak pernah terlepas dari alumni SMP pakandangan, sebab penghuni terbanyak SMA EL itu adalah berasal dari SMP pakandangan. Kondisi ini sejalan dengan statement bahwa mayoritas cenderung menguasai dan merebut pucuk pimpinan. Apalagi demokrasi memberi ruang untuk itu. Meskipun saya tidak terpilih menjadi ketua OSIS, tapi diberikan amanah sebagai ketua seksi bela negara, walaupun berada pada posisi seksi, saya tetap memberikan kontribusi penuh dalam berbagai kegiatan keosisan.
Berbekalkan kemampuan komunikasi dan orasi di depan publik, saya kerap tampil dalam berbagai kegiatan strategis OSIS, meskipun tidak menjabat sebagai ketua OSIS. Pada saat pemilihan ketua OSIS oleh MPK, saya mendengar pernyataan segelintir anggota MPK yang skeptis terhadap latar belakang saya, yang berasal dari anak pesantren yang biasa disebut dengan panggilan "pakiah". "Masak pakiah lo nan ka jadi ketua osis? kalau acara hiburan, ma lo amuah inyo"(masak anak pesantren pula yang akan jadi ketua osis, mana mau dia kalau ada acara hiburan).  Nada sinis ini yang menjadi tantangan bagi saya. Sebab dalam persepsi sebagian orang, khususnya di Padang Pariaman, anak pesantren (pakiah) calon tuanku dianggap tidak pantas bergabung dalam kegiatan serupa itu. Saya semakin ingin membuktikan bahwa anak pesantren (pakiah) calon tuanku bisa berperan pada aspek yang lebih luas.
Masuk SMA di samping sebagai peluang ladang aktualisasi bakat dan potensi diri, juga merupakan tantangan pembuktian bahwa Tuanku itu juga bisa dan harus bisa berperan pada aspek yang lebih luas termasuk ruang publik yang ada keberagaman dan kemajemukan. Bahwa tuanku tidak boleh bersikap ekslusif, tetapi harus bersikap inklusif (terbuka terhadap kebhinekaan) dan harus berani mengambil posisi dalam beragaman itu.
Meskipun saya tidak terpilih jadi ketua OSIS, namun pada saat duduk di kelas 3, saya selokal dengan Akhirman, saya dipilih menjadi ketua kelas dan mengalahkan akhirman, sebab sistem pemilihannya secara langsung oleh anggota kelas dan saya selalu menjadi juara I saat duduk kelas 3.
Semasa SMA saya juga berperan aktif dalam kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) OSIS.  Pada saat kelas 1 dan 2 sebagai orang yang dilatih dan pada saat duduk di kelas  3 meningkat posisi sebagai senior dan pelatih. Pada acara MOS siswa baru, di samping bertugas sebagai panitia, saya juga sebagai konseptor sekaligus aktor dalam acara puncak MOS tersebut dalam memerankan drama yang mengharukan. Sebagai senior saya memerankan tokoh yang menguji pandangan yunior terhadap senior selama MOS dengan memperagakan dan mempertontonkan cacing dalam botol gelas aqua berisi air. Pada saat mata siswa yang diminta mewakili teman-temannya ditutup dengan kain gelap, saya menyodorkan mie rebus yang baru dimasak ke mulutnya untuk dimakan. Saya perintahkan dia untuk memakannya, namun dia tidak mau memakan, karena masih beranggapan bahwa saya masih menyodorkan cacing tadi. Berangkat dari kondisi itu saya mulai akting dengan penyampaian kata-kata yang menyedihkan dan mengharukan. Bahkan saya secara pribadi hanyut dan larut dalam untaian kata-kata saya, yang endingnya saya antara pingsan dan tidak.     
Kondisi itu membuat siswa baru semakin terharu dan menangis, saya digotong oleh panitia lain ke ruangan kepala sekolah. Setelah saya siuman,  baru saya jelaskan arti dari drama tadi, bahwa ternyata yonior masih menilai senior itu tegaan menyodorkan cacing ke mulut yoniornya. Tentu senior ini juga bertindak secara manusiawi. Drama ini saya dapatkan dari pesantren, namun saya dapat panggung baru di SMA, saya mainkanlah pengalaman ini. Acara ini mendapat kesan positif, tidak saja dari pihak sekolah juga termasuk yunior.
Selama di SMA saya juga aktif di pramuka melalui wadah Minanga Kabawa, lembaga yang concent mendidik generasi muda dengan kedisiplinan dan kepemimpinan. Jiwa kepramukaan juga memberi warna dan corak dalam kepemimpinan. Meskipun berlatar belakang pesantren (pakiah) saya tidak mau terjebak dan terkungkung dalam ruang gerak yang terbatas, saya selalu belajar dengan berbagai pemikiran dan pengalaman serta berproses membentuk diri dan kepribadian namun tidak meninggalkan nilai-nilai kepesantrenan.

Memilih jurusan KPI di IAIN
Setelah menamatkan SMA dan Pesantren, saya melanjutkan study ke IAIN Imam Bonjol Padang. Namun dalam hal pemilihan jurusan kuliah kembali sedikit berbeda dengan kecenderungan pilihan mayoritas anak pesantren. Kecenderungan anak pesantren memilih fakultas syariah yang diproyeksikan menjadi hakim agama dan dalam pembelajaran akan dominan membahas kitab kuning, relevan dengan latar belakang pesantren atau fakultas tarbiyah yang punya peluang kerja luas yaitu menjadi guru dan prospeknya dinilai menjanjikan dan juga merupakan fakultas favorit atau memilih jurusan tafsir hadits di fakultas usuluddin atau jurusan bahasa arab pada fakultas adab. Semua jurusan dan fakultas yang disebutkan di atas adalah jurusan atau fakultasnya anak pesantren. Selaku lulusan terbaik pesantren yang potensial yang bisa menyelesaikan studi 7 tahun dalam waktu 5 tahun, justru memilih jurusan dan fakultas yang tidak favorit di kalangan anak pesantren dan kurang populer dalam pandangan sebagian khalayak. Tentu saya menentukan untuk memilih jurusan ini punya pertimbangan tersendiri dan punya mimpi tersendiri dengan saya menamatkan jurusan ini. Saya memilih jurusan ini bukan karena saya tidak lulus pada pilihan pertama atau kedua, sebab jurusan KPI ini bagi saya adalah pilihan pertama. Biasa bagi kebanyakan orang jurusan dan fakultas ini adalah pilihan kedua dan ketiga, namun tidak bagi saya. Dalam menentukan pilihan ini saya memang tidak pernah berkomunikasi dan berkonsultasi dengan senior dan teman-teman lainnya. Namun ketika saya membaca berbagai jurusan, hati saya langsung mantap aja dengan jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Ketertarikan saya itu didasari oleh keingintahuan saya terhadap hal yang baru dan masih asing bagi saya. Hal ini masih sejalan dengan prinsip saya dulunya ketika memilih untuk sekolah di SMA, ingin mencoba hal yang baru dan hal yang berbeda serta masih asing bagi saya. Kalau masih membahas kitab di fakultas syariah, usuluddin dan adab, saya menilai cukup di pesantren aja, sebab di pesantren sudah terbiasa dengan kitab. Untuk lebih mendalamnya benar juga untuk memilih fakultas syariah, usuluddin dan adab. Namun saya cenderung memilih yang berbeda, sehingga saya ingin mendapatkan khazanah baru serta perspektif yang berbeda, khususnya bidang komunikasi dan penyiaran. Hal ini diperkuat dengan bakat dan prestasi saya dalam bidang kepidatoan. Terlepas dari itu semua bahwa pilihan hati ini adalah pilihan yang tepat dan benar menurut kita dan belum tentu benar menurut yang lain. Meskipun banyak juga senior saya di pesantren menanggapi dan mengomentari pilihan saya ini, sebab pilihan saya ini dinilai punya peluang kerja yang sempit. Karena sedikitnya kesempatan kerja yang meminta jurusan ini. Banyak yang mengatakan" kenapa tidak memilih jurusan tarbiyah, sebab kalaupun belum diterima menjadi PNS, kan masih bisa honor di berbagai sekolah".  Ungkapan itu memang sangat realistis terkait dengan serapan lulusan fakultas tarbiyah di dunia kerja lebih banyak dibandingkan dengan lulusan fakultas dakwah. Namun saya memilih jurusan KPI tidak pernah mempertimbangkan seperti yang disampaikan senior saya dan pertimbangan itu tidak pula pernah saya terima sebelum saya masuk kuliah di IAIN. Namun saya sudah menentukan pilihan, terlepas dari tepat atau tidaknya pilihan saya itu. Itu sudah jadi pilihan dan saya sudah diterima di jurusan itu. Dalam pikiran saya, saya ingin jadi jurnalis, wartawan, penulis atau penyiar. Kalaupun kemudian tidak menjadi salah satu dari pikiran saya itu, minimal sudah mengetahui ilmunya.
Dalam kenyataan yang saya amati dan alami dari sekian banyak jurusan dengan perbedaan fakultas selagi dalam lingkungan IAIN, secara materi keilmuan yang mempunyai perbedaan yang signifikan. Kalaupun ada pengkhususan pada jurusan dan itu tidak dirasakan terlalu mencolok. Maka kondisi itu membuat saya semakin yakin dengan pilihan saya itu. Minimal ada pengalaman yang berbeda selam kuliah di KPI,  saya memahami ilmu komunikasi, jurnalistik, dramatologi, sinematografi. Pengalaman yang terkesan adalah saya pernah menjadi pimpinan umum pada tabloid yang diterbitkan oleh angkatan saya. Selama kuliah di KPI saya juga pernah menjadi peserta dalam shooting Carito Lapau di studio TVRI Padang. Saya berprinsip bahwa apapun jurusan kuliah kita, soal bekerja akan tergantung kepada kitanya. Sefavorit apapun jurusan yang kita pilih, sepanjang kita tidak punya kompetensi dan kapasitas, lapangan pekerjaan akan sulit menghampiri. Paradigma sekarang adalah kuliah tidak sebatas berorientasi menjadi PNS atau mencari lapangan pekerjaan. Tetapi seyogyanya lulusan sarjana dituntut untuk membuka lapangan pekerjaan.

Memilih kuliah di 2 perguruan Tinggi secara bersamaan.
Setelah menjalani pendidikan di dua sekolah secara bersamaan Dengan lokasi yang berjauhan dengan sukses tanpa ada yang dikorbankan yaitu antara pondok pesantren nurul yaqin ringan-ringan dengan SMA EL. Meskipun sedikit mengalami kesulitan dan kerumitan dalam membagi waktu, apalagi pada saat duduk di kelas 2 SMA yang waktu belajarnya pagi hari, sedangkan secara bersamaan saya dipromosikan belajar di kelas 7 langsung melonjat dari kelas 4 tanpa melewati kelas 5 dan 6. Kondisi itu mengharuskan saya menyusun strategi dan manajemen pembagian waktu. Meskipun harus memilih absen pada salah satu lokasi. Namun ketidakhadiran itu masih bisa disiasati dengan prestasi belajar. Untuk pengganti absen di pesantren pada malam harinya saya menemui buya, jika pada hari itu saya terpanggil tidak hadir berarti nilai saya titik. Untuk menutupinya saya membaca kembali materi yang seharusnya saya baca pagi hari di lokal kelas 7 di hadapan buya secara sendiri langsung di kamar buya. Tentu sebelum dipersilahkan untuk membayar titik, banyak pertanyaan buya yang harus saya jawab secara meyakinkan akan alasan ketidakhadiran saya. Jika dijawab alasan sekolah, berarti saya dianggap mementingkan sekolah dan mengabaikan pesantren. Namun kebetulan saat saya terpanggil untuk membaca, tapi saya tidak hadir yang kemudian diberi nilai titik yang akan mengurangi nilai secara akumulatif nantinya, saya sedang mengikuti lomba pidato antas siswa SMA tingkat propinsi sumbar dan saya menjadi juara 1, alasantersebut yang saya sampaikan pada buya, sehingga akhirnya buya beri saya kesempatan untuk mengganti nilai titik dengan nilai hasil bacaan saya yang menyusul. Kejadian itu juga memberikan image yang bagus dari buya terhadap saya, yang bisa mensinergikan pendidikan umum dengan agama, bahkan bisa berprestasi di sekolah umum. Titik-titik berikutnya tidak banyak lagi pertanyaan buya kepada saya. Justru di dalam lokal saya sering menjadi tersanjung dengan pujian buya. Sebab tidak banyak buya memberikan pujian kepada santrinya. Bermodalkan image yang berbuah kepercayaan dari prestasi yang diraih, kesulitan dalam melewati pembagian waktu saat SMA dan pesantren, membuatkan saya berani juga untuk kuliah di 2 perguruan tinggi. Kondisinya tentu sangat jauh berbeda antara SMA dan pesantren. Namun kuliah 2 antara IAIN dan Unand menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Sebagian orang mengatakan "satu saja kuliah, bisa menjadi mahasiswa abadi dalam artian tamatnya sampai 7 tahun alias cuci gudang, apalagi kalau 2". Statement itu saya mentahkan dengan bukti, meskipun saya kuliah di 2 PTN, saya menyelesaikannya lebih cepat dari biasana. Di unand jurusan sosiologi bisa saya tamatkan hanya selama 3,5 tahun. Bahkan pada saat wisuda di fakultas saya dinobatkan sebagai mahasiswa berprestasi di bidang aktifitas kemahasiswaan dengan mendapatkan penghargaan berupa buku dan saya diminta berdiri ke depan untuk menerima penghargaan tersebut. Hanya 3 orang mahasiswa yang dapat penghargaan pada kegiatan tersebut.  Normalnya paling cepat adalah 4 tahun. Sedangkan untuk IAIN dengan jumlah matakuliah yang banyak, saya bisa menamatkan selama 8 semester alias 4 tahun bayar SPP.
Kondisi ini merupakan keberhasilan ulangan setelah sebelumnya saya bisa menamatkan pesantren yang seharusnya 7 tahun, dalam waktu 5 tahun. Saya dipromosikan duduk ke kelas 7 dari kelas 4 tanpa melewati kelas 5 dan 6. Sedangkan SMA bisa saya tamatkan selama 3 tahun dengan beberapa prestasi yang saya raih.
Motivasi untuk juga kuliah di unand adalah adanya sebuah penilaian masyarakat bahwa kuliah di unand itu hebat. Maka saya mencoba untuk menembus itu, meskipun saya berasal dari keluarga kurang mampu. Pertama saya menginjakan kaki ke kampus unand pada saat mendaftar ulang setelah saya dinyatakan diterima pada jurusan sosiologi unand melalui Umptn, saya berdecak kagum. Tidak terbayang oleh saya akan menjadi bagian dari civitas akademika unand yang megah dan besar ini. Meskipun diterima pada jurusan sosiologi, asalkan di unand, saya merasa bangga. Berarti saya sudah merasa bagian dari orang yang hebat. Dan yang lebih membuat saya senang adalah saya bisa taklukan kuliah di unand selama 3,5 tahun. Meskipun saya bangga dan cinta dengan unand, namun kecintaan saya tidak membuat saya harus berlama-lama kuliah di unand. Justru sebaliknya saya harus menyelesaikannya sesegera mungkin, karena saya akan tingkatkan pengabdian di masyarakat melalui kapasitas yang sudah intelektual. Alhamdulillah,gayung bersambut, setelah saya diwisuda di unand pada tanggal 12 april 2003 bertepatan dengan hari kelahiran saya pada 23 tahun yang silam tepatnya tahun 1980, saya mendaftar menjadi calon anggota KPU Kabupaten padang pariaman. Atas izin Allah saya diterima menjadi anggota KPU kabupaten padang pariaman bahkan menjadi anggota Kpu termuda di sumatera barat, mungkin juga se indonesia. Baru tamat kuliah langsung diterima menjadi bagian dari penyelenggaraan pemilihan umum dan pemimpin negeri ini.
Memutuskan untuk kuliah di 2 PTN, lebih kepada semangat integrasi pendidikan umum dengan pendidikan agama. Di samping itu secara pribadi untuk menjadi perbandingan bagaimana pola pembelajaran di unand dan bagaimana pula di IAIN. Kemudian juga akan membentuk kepribadian saya untuk lebih toleran terhadap keberagaman, karena di unand saya akan bergaul dengan banyak orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda dari berbagai hal, baik soal status sosial ekonomi orang tua, budaya, daerah dan agama. Mahasiswa di unand lebih heterogen dibandingkan dengan di IAIN. Unand juga memberikan kepercayaan diri kepada saya. Hampir sama dengan memilih SMA, unand juga merupakan ladang pengembangan bakat saya. Atas nama fakultas fisip saya juara I lomba pidato mahasiswa tingkat sumbar yang diadakan IAIN bertempat di pasca sarjana IAIN. Saya juga juara lomba pidato bidang ketertiban dan keamanan yang diadakan oleh polda sumbar. Prestasi lain yang saya raih juara I lomba hafiz mahasiswa sesumbar yang diselenggarakan unand. Kemudian. Mewakili unand dan sumbar pada MTQ nasional antar mahasiswa bertempat di IKIP gorontalo sulawesi bidang hafiz dan tartil. Pada bidang hafiz saya dapat harapan I tingkat nasional. Meskipun lembaga kemahasiswaan di fakultas saya dibubarkan oleh mahasiswa, mulai dari HMJ, BEM dan BPM, namun dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan saya dminta mewakili fakultas oleh PD III fisip. Meskipun saya tidak pernah tercatat sebagai pengurus HMJ dan BEM FISIP, namun pada saat wisuda saya dinobatkan sebagai mahasiswa teraktif dan berprestasi dengan diminta tampil ke depan untuk menerima penghargaan atau bingkisan.  Sayang penghargaan tersebut tidak dalam bentuk sertifikat atau piagam. Memang pada saat wisuda saya itu merupakan wisuda terjelek, karena panitia tidak solid. Bahkan juru foto resmi dari pihak fakultas yang akan mengabadikan momen istimewa saat penerimaan ijazah dan pemindahan umbul-umbul toga wisuda tidak ada.
Lain halnya dengan IAIN, dengan latar belakang mahasiswa yang homogen dan tradisi keilmuan yang hampir bersamaan juga membuat tidak adanya sekat-sekat komunikasi dan tidak ada gap antara yang kaya dengan yang miskin. Suasananya terbangun secara harmoni dan penuh kekeluargaan. Apalagi secara keilmuan, semua materi yang diajarkan di IAIN tidaklah asing bagi saya. Sebab materi yang tidak jauh berbeda dasarnya sudah saya pelajari di pesantren. Dengan luas kampus yang kecil bila dibandingkan dengan unand, membuat komunikasi lintas fakultas menjadi mudah, karena masuk pada gerbang yang sama. Pada saat kuliah ada-ada saja selera saya,  saya masuk teater di luar kampus. Saya bergabung dengan teater nadi martir. Saya sudah tidak ingat lagi dengan pengertian nadi martir, namun saya sudah mengikuti masa orientasi anggota baru. Banyak hal yang saya dapatkan, teknik olah vokal, olah sukma dan olah raga. Saya dilatih untuk berjalan melawan arus air yang deras. Mewajibkan harus dan harus bisa. Menjadi seniman memang sering berbeda dengan yang lain bahkan kadang berhadapan dan melawan arus. Pada masa orientasi tersebut ada peragaan peran itik, yang kerjanya ribut saja dan membuat air yang jernih menjadi keruh. Kata kang dayak pimpinan teater nadi martir bahwa "prilaku itik itu merefleksikan prilaku politisi. Serius-serius tapi hasilnya main-main, sedangkan seniman bentuknya main-main, tapi hasilnya serius". Saya masih ingat statement itu, ternyata banyak benarnya. Politisi bekerjanya sepertinya serius, namun hasilnya yang tidak serius. Membuat undang-undang dengan seriusnya, namun seringkali apa yang dibuat politisi di senayan mudah saja dianulir oleh MK yang orangnya secara jumlah tidak banyak. Meskipun pada akhirnya saya juga tidak terlalu aktif di teater, disebabkan keterbatasan waktu, karena saya pulang bolak balik ke lubuk alung. Minimal saya sedikit mengenal dunia keteateran. Nike astria mengatakan bahwa dunia ini bagaikan panggung sandiwara. Kita harus memilih peran, apakah akan berperan menjadi orang baik atau sebaliknya.
Kuliah pada 2 kampus di IAIN dan unand, memberikan pengayaan tersendiri dalam pertualangan pencarian ilmu dan jati diri saya. 2 kampus ini berperan memberi warna dalam saya bersikap, bertindak dan berprilaku. Masing-masing ada plus minusnya.
Memilih tidak kos waktu kuliah
Meskipun saya kuliah pada 2 perguruan tinggi negeri di kota padang secara bersamaan yaitu di unand dan iain, namun saya masih tinggal di kampung halaman dan tidak tinggal di padang atau kos atau tinggal di mushalla atau mesjid di padang. Memang terbilang rumit bagi sebagian orang melihat, namun semua sudah saya lewati. Secara fisik dan pikiran memang sangat terkuras, semua itu berjalan karena keadaan yang membuat demikian. Kalau boleh saya memilih, jika saya berasal dari keluarga berkecukupan, tentu saya akan kos dan tinggal di dekat tempat kuliah. Tapi karena keterbatasan ekonomi saya dan orang tua, membuat saya untuk tidak kos atau tinggal di padang.
Pada saat kuliah di padang, saya masih tinggal di kampung, bolak balik dari lubuk alung ke padang tempat kuliah di dua lokasi yaitu limau manis dan lubuk lintah. Hal itu saya lakoni selama.  3,5 tahun di unand dan 4 tahun di iain. Awalnya naik bus dari lubuk alung ke padang dan naik angkot ke IAIN dan naik bos kota ke unand. Hal ini saya jalani dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, di satu sisi saya sudah diangkat jadi Tuanku, sebagai salah seorang pemuka agama dan tokoh masyarakat di kampung, diharapkan pada waktu-waktu tertentu saya hadir dan berada di tengah-tengah masyarakat. Saya juga mengajar mengaji di mushalla nurul huda lubuk alung serta membina majelis taklim. Melalui kegiatan pengabdian pendidikan, sosial keagamaan dan kemasyarakatan, saya diberikan rezeki oleh Allah, sehingga dapat membayar biaya kuliah, beli buka dan belanja saat kuliah. Di samping beasiswa yang selalu saya dapatkan di 2 kampus tersebut. Dengan status tuanku yang saya sandang, memberikan prestise tersendiri di tengah-tengah masyarakat. Pada saat hari baik bulan baik saya diundang untuk membacakan doa, Alhamdulillah diberi sedeqah, pada saat setelah ceramah, dapat juag sedekah, pada saat pengangkatan datuk/ninik mamak dan barundiang perkawinan dengan status saya, juga mendapat rezeki. Semua itu menjadi tambahan biaya perkuliahan saya,  bahkan tidak untuk kuliah saja, saya juga bisa membantu orang tua, adik-adik yang masih kuliah, bahkan juga untuk memperbaiki rumah orang tua.
Untung bagi saya secara pembentukan karakter untuk tetap tinggal di kampung saat kuliah dibandingkan dengan kos. Dengan tetap tinggal di rumah orang tua, atau kampung masih masih bisa melakukan peran sosial keagamaan saya, ditambah lagi lamanya kuliah tidak terasa. Bahkan orang kampung saya juga tidak banyak yang tahu bahwa saya adalah mahasiswa, bahkan kuliah di 2 PTN di kota padang. Untungnya lagi dengan tidak kos minimal saya tidak terkontaminasi secara langsung dengan prilaku oknum mahasiswa kos, kadang-kadang ada yang judi, pergaulan bebas dan tindakan yang kurang baik. Bukan berarti orang yang kos melakukan hal yang sama, minimal hal yang demikian tidak saya hadapi.
Lalu kenapa tidak tinggal di mesjid atau di mushalla di sekitar kota padang sekaligus mengajar di sana. Saya tidak memilih untuk tinggal di mesjid atau mushalla di padang, disebabkan pesan guru pesantren saya, bahwa status tuanku yang disandang harus disesuaikan dengan peran kita di tengah masyarakat. Tuanku harus independen dalam bersikap. Jika tinggal di mesjid atau mushalla di sekitar padang, keadaannya akan berbeda. Sebab kebanyakan mahasiswa yang tinggal di mesjid dan mushalla mempunyai jabatan serba rangkap di mulai dari garin, pembersih mesjid, imam dan kadang-kadang pengganti khatib, jika khatibnya berhalangan. Mulia memang pekerjaan ini, namun independensi dan bargaining position di mata pengurus rendah.  Bermodalkan status sosial, prestise dan hak privilage yang saya miliki, memberikan ruang dan kesempatan saya akses terhadap berbagai hal. Maka banyak kondisi dan pertimbangan tersebut membuat saya memutuskan dan memilih untuk tidak kos di padang saat kuliah. 
Memilih memimpin PUDI Padang Pariaman
Memilih HMI
Sewaktu masuk di perguruan tinggi, selaku mahasiswa yang aktif juga berperan dalam kelas. Pada jurusan KPI diangkat menjadi ketua Kosma (komisariat mahasiswa) tahun pertama atau ketua kelas istilah waktu SMAnya. Pada saat kuliah di IAIN,  saya masih tinggal di kampung dan tidak tinggal di padang.  Sementara di Unand juga terpilih sebagai Komting (komisariat tingkat) yang tidak berusia lama, karena pasca Kemah Bhakti Mahasiswa (KBM) Sociology On Camp jurusan saya, saya diberhentikan senior dengan alasan tidak loyal kepada senior. Sebab saya menentang para senior untuk membela teman-teman perempuan saya yang melapor, karena adanya oknum senior yang melakukan tindakan yang kurang sopan alias pelecehan. Disebabkan hal demikian saya mengkritik tindakan tersebut yang berakhir dengan sebuah perkelahian dalam bentuk kejar-kejaran. Meskipun berbadan kecil, namun untuk menyampaikan kebenaran saya tidak takut dan berani pasang badan demi teman-teman angkatan. Selepas KBM Sociology on camp (SOC) atas intervensi oknum senior teman-teman saya memilih komting baru, karena saya dinilai tidak bisa bekerjasama dengan senior.
Banyaknya tindakan yang tidak terpuji ditemukan pada saat KBM, meskipun tidak lagi sebagai ketua Komting, saya menyampaikan gagasan mengganti kegiatan SOC dengan ROS (Reorientasi Sociology) kepada teman-teman angkatan yang akan menjadi panitia berikutnya. Saat menjadi senior saya sampaikan gagasan ini kepada yunior angkatan baru. Gagasan ini tercium oleh senior,  menemui saya dan beradu argumen, bahkan ada senior tua yang ekstrim akan menampar saya, namun untuk sebuah gagasan saya akan jelaskan. Para senior tidak menerima gagasan saya, mereka turun gunung untuk mempengaruhi yunior baru. Gagasan saya tentang ROS ini saya komunikasikan juga dengan pembantu dekan III bidang kemahasiswaan bpk Alfitri, beliau mendukung gagasan saya tersebut, meskipun beliau juga tidak bisa mengeksekusi gagasan saya. Minimal batasa-batasan yang perlu disepakati dalam pelaksanaan KBM perlu diperhatikan.
Kondisi pada saat saya kuliah di sosiologi fisip unand, KBM setelah saya memakan korban skorsing. Beberapa orang panitia KBM yang ngotot, diberikan sanksi dalam bentuk skorsing SKS. Meskipun sebenarnya saya juga tidak sependapat dengan sanksi tersebut. Namun itu telah terjadi dan sudah diputuskan dekan, saya membuat catatan saja,  bahwa pekerjaan yang kurang memperhatikan nilai-nilai kewajaran dan kemanusiaan, akan mendapatkan hukuman dalam bentuk lain. Muara dari keputusan dekan tersebut, semua elemen petinggi lembaga kemahasiswaan mendeklarasikan pembubaran lembaga kemahasiswaan yang ada di intern kampus. Mahasiswa melakukan berbagai aksi demonstrasi, menyegel dekanat, merubah papan nama FISIP dari fakultas ilmu sosial dan ilmu politik menjadi fakultas ilmu santet dan ilmu penindasan. Sampai saya menamatkan studi di jurusan sosiologi unand selama 3,5 tahun, lembaga kemahasiswaan intern kampus belum juga kembali didirikan, karena mahasiswa masih berduka dan berkabung. Secara pribadi saya tidak setuju dengan aksi pembubaran lembaga kemahasiswaan intern kampus, sebab sangat merugikan bagi mahasiswa yang ingin berproses dan berkarir di lembaga kemahasiswaan dalam mempertajam ilmu kepemimpinan. Nasi telah jadi bubur, semua sudah terlanjur dibubarkan, tidak Himpunan mahasiswa jurusan, tidak ada badan eksekkutif mahasiswa dan tidak ada lembaga badan perwakilan mahasiswa. Saya secara pribadi merasa dirugikan dengan keadaan ini, namun saya tetap ingin berproses dengan aktif di berbagai lembaga lain di luar lembaga kemahasiswaan intern fakultas.
Saya menjatuhkan pilihan kepada Himpunan Mahasiswa Islam sebagai payung tempat saya berproses dan mengembangkan diri. Pilihan itu awalnya didasari tidak adanya organisasi yang berfaham ahlussunnah wal jamaah yang aktif di padang seperti PMII. PMII tidak ada pada saat saya kuliah, tidak mungkin saya bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, karena saya bukan warga muhammadiyah namun berteman baik dengan semua orang muhammadiyah. Pada akhir saya melabuhkan pilihan saya kepada HMI yang dinilai inklusif, moderat dan terbuka. Berbagai latar belakang mahasiswa yang bergabung dengan HMI, ada tarbiyah, ada NU dan ada juga muhammadiyah serta islam nasionalis. Saya ikut latihan kepemimpinan (LK I) komisariat fakultas pertanian pada tahun 1999 bertempat di Wisma HMI jalan hang tuah. Pada LK I tersebut saya kenal dekat dengan ajo Harry Efendi Iskandar(sekarang dosen sejarah unand), selaku sesama orang padang pariaman dan 1 komisariat sastra dan fisip. Meskipun saya beda fakultas, beliau berikan kesempatan banyak kepada saya untuk mengaktualisasikan potensi kepemimpinan saya. Saya saat LK I terpilih sebagai wakil ketua lokal, dengan ketua zein zuhdi, nama lengkapnya saya lupa. Beliau mahasiswa fakultas hukum UBH dan juga sebagai ketua PW PII. Saya juga berkenalan dengan eka vidya (mantan ketua BEM Fisip/mantan ketua cabang HMI padang/sekarang dosen UNP). Uni zil hafzi, wildamira qudsi dan lain-lain. Pada saat itu HMI menguasai jabatan kemahasiswaan di setiap level dan lini, karena pemilihan berdasarkan perwakilan. Rata-rata perwakilan mahasiswa diisi oleh HMI.
Setelah saya selesai LK I HMI, saya langsung direkrut untuk menjadi panitia kongres mahasiswa unand yang berkantor di sayap depan auditorium unand. Ketua senat atau BEM unand saat itu dipimpin oleh Husni Kamil Manik (ketua KPU RI sekarang) dengan sekretaris jenderal harry efendi iskandar. Namun kongres urung dilaksanakan, meskipun pun panitia sudah dibentuk dan sudah melakukan beberapa kali rapat. Seiring berubahnya konstitusi kelembagaan kampung tentang pemilihan pimpinan lembaga mahasiswa melalui pemilihan raya atau pemilihan langsung dan bentuk pemilu. Inilah awal dari kegagalan HMI dalam meraih tampuk pimpinan lembaga kemahasiswaan, karena suara dukungan pecah. Calon presiden mahasiswa berasal dari HMI berjumlah 3 orang, sedangkan dari KAMMI hanya 1 orang. Dukungan bulat tertuju kepada calon yang diusung KAMMI, seiring dengan tidak solidnya aktifis HMI ditambah lagi dengan turunnya pamor HMI.
Pada saat kuliah, lembaga kemahasiswaan di FISIP dibubarkan membuat saya tidak pernah terlibat dengan BEM dan HMJ. Sementara pamor HMI mulai pudar di unand membuat saya untuk fokus pada lembaga study seperti saya aktif di labor sosiologi unand. Di labor sosiologi unand saya selalu melakukan diskusi ilmiyah baik sesama mahasiswa, maupun bersama dosen. Labor sosiologi pernah mengadakan lomba penulisan karya ilmiah antar pelajar SMA se sumatera barat dan saya sebagai ketua panitia dan ketua labor sosiologi dipimpin oleh bpk Dr. Jendrius, M. Si. 10 karya ilmiah terbaik diundang untuk mempresentasikan makalah di hadapan tim juri. Bersama labor sosiologi unand saya juga melakukan field study di tilatang kamang kabupaten agam bersama-sama mahasiswa baru, dalam rangka mengasah dan mempraktekan bagaimana cara melakukan penelitian, metode apa yang dipilih beserta pendekatan penelitian. Kegiatan yang sama juga dilakukan penelitian bersama di lapangan tepatnya di daerah cacing nagari tiku kabupaten agam. Untuk penyegaran pengelola labor, dilakukan refresing dalam bentuk touring selama 2 kali. Pertama keliling dananu maninjau, star dari padang, bermalam di tiku lanjut ke danau maninjau arah pinggir singgah di pesantren hamka, terus singgah di taman pustaka hamka, lanjut ke bukittinggi dan menuju padang lewat sitinjau laut. Kegiatan touring dilakukan dengan sepeda motor. Hal yang sama juga kami lakukan touring dari padang menuju nagari mandiangin pasaman, sebuah perjalanan yang mengasyikan, karena untuk sampai ke nagari mandiangin harus melewati laut dan berangkat dengan kapal. Yang tersedia khusus untuk menuju mandiangin.
Melalui bendera labor sosiologi bersama bpk jendrius, saya bergaul dengan aktifis cemara pkbi, kemudian kami diikutkan menjadi eunumerator penelitian yang dibiayai oleh population council dengan judul medikalisasi sunat perempuan di sumatera barat. Sampel penelitian kabupaten padang pariaman dan kota padang. Pak jendrius berada pada posisi supervisi. Sebuah pengalaman baru bagi saya untuk memperdalam dan mempraktekan survey. Di kota padang bersama labor sosiologi juga dilakukan penelitian tentang respon remaja kota padang terhadap kesehatan reproduksi remaja. Saya terpengaruh juga dengan minat pak jendrius tentang gender. Meskipun saya punya pilihan untuk fokus pada sosiologi pembangunan. Kesibukan di labor sosiologi unand ditambah dengan studi di IAIN membuat saya kurang aktif di HMI. Beberapa agenda penting HMI kadang-kadang saya ikut, seperti mendengarkan paparan visi misi para kandidat ketua umum HMI yaitu ahmad doli dan ahmad khairuddin.
Saya memang sudah mempersiapkan diri untuk ikut LK II, beberapa undangan LK
II dari luar sumatera membuat saya masih berpikir ulang, karena saat itu saya masih mempertimbangkan kuliah, sehubungan 2 kuliah yang saya geluti. Makalah sudah dipersiapakn untuk LK II bersama teman saya di IAIN yaitu hendri yuliadi dan m herdiansyah. Sampai saya tamat kuliah, niat untuk LK II tidak kesampaian. Meskipun demikian, setelah purna mahasiswa, pada pemilihan presidium KAHMI (Korps Alumni HMI) kota/kabupaten padang pariaman saya dipilih menjadi ketua harian presidium KAHMI pada bulan september 2010. Pada bulan februari 2011 dilantik oleh presidium kahmi sumbar dan dihadiri oleh presidium pusat bang harry azhar azis yang juga ketua komisi VII DPR RI dari fraksi partai golkar. Bang harry sekaligus memberikan materi dan orasi ilmiah dengan tema perekonomian indonesia. Sebelum dilantik saya juga mengikuti rakornas kahmi yang diikuti oleh petinggi kahmi yang juga petinggi negara bertempat di hotel syahid. Meskipun saya tidak pernah LK II, namun saya ikut memberikan materi pada lk II yang diselenggarakan oleh hmi cabang pariaman dengan tema ekonomi neoliberal vs ekonomi kerakyatan.
Walaupun saya aktifis dan alumni HMI, namun saya juga merupakan pemegang mandat PMII kota/kab pariaman bersama armaidi tanjung dan murni. Hal ini berhubung saya juga mantan ketua PCNU, mantan ketua PC IPNU padang pariaman.
Memilih berkupiah
Rahmat tk sulaiman identik dengan kupiahnya. Kupiah merupakan alat penutup kepala yang diwajibkan untuk dipakai oleh setiap santri di pesantren tempat saya belajar. Kupiah yang disebut juga dengan peci nasional ini menjadi salah satu ciri khas sebagai seorang tuanku. Filosofi kupiah dalam pandangan pesantren saya adalah sebagai simbol penghormatan dan pemuliaan terhadap ilmu yang didapatkan di pesantren yang tersimpan di kepala. Kepala juga merupakan lambang kehormatan, orang akan merasa terhina jika kepala dilecehkan, dipegang-pegang begitu saja, apalagi sampai meludahkan kepala. Sesorang itu akan merasa terhina sekali dengan perlakuan seperti itu. Memakai kupiah juga merupakan penjabaran dari pemakaian surban oleh Rasulullah dalam bentuk penutupan kepala. Lalu bagaimana dengan saya yang tetap memilih untuk memakai kupiah dalam berbagai kegiatan dan kesempatan, bahkan jarang terlepaskan. Disamping terkait dengan prinsip di atas berdasarkan kebiasaan di pesantren namun juga adanya konsistensi. Makna kupiah bagi saya mempunyai 2 nilai. 1. Nilai ibadah dalam artian pemuliaan terhadap kepala. Dalam melaksanakan shalat dimanapun selalu. Menutup kepala dengan kupiah, karena kupiah selalu dipakai dalam setiap aktifitas saya. Kupiah identik dengan orang yang relegius, minimal label itu melekat,  secara tidak langsung dengan memakai kupiah akan mempersempit ruang gerak saya untuk melakukan maksiat. Jadi dengan memakai kupiah juga bermanfaat untuk menghindarkan diri dari perbuat maksiat yang selalu membayang-bayangi setiap diri kita. Tentu kita akan terbebani dengan sendiri dengan penilaian orang"masak orang yang memakai kupiah atau disebut alim berbuat maksiat". Jika memakai kupiah bisa menghindarkan kita dari berbuat dosa, berarti memakai kupiah menjadi bernilai ibadah. Minimal bagi diri saya yang juga rentan berbuat dosa dan salah.  2. Bernilai praktis yaitu bermanfaat untuk melindungi kepala dari hal-hal yang secara langsung bersentuhan dengan kepala.  Merujuk dari 2 nilai tersebut kemudian berkembang menjadi branding tersendiri bagi saya. Kupiah menjadi branding saya, keberadaan saya dalam berbagai kegiatn dan pertemuan akan selalu mudah dikenal, yang pakai kupiah itu adalah rahmat tk sulaiman.
Memang mayoritas tuanku itu memakai kupiah, namun tuanku yang sudah berkiprah dalam alam pengabdian yang lebih umum tidak semuanya lagi memakai kupiah. Namun saya tetap memilih untuk memakai kupiah. Untuk kepentingan strategis dan pragmatis untuk dikenal banyak orang kita harus berbeda dengan yang lain. Jalur untuk berbeda bermacam-macam. Ada orang terlalu menonjol kekayaannya atau kecerdasannya atau ketampanannya. Namun saya belum merasa menonjol dalam hal tersebut, maka saya yang berlatar belakang pesantren tetap untuk memakai kupiah, tentu akan menonjol perbedaan fashion saya. Memakai kupiah bukan berarti saya ekslusif, atau menutup diri dari pergaulan lain. Justru sebalik dengan memakai kupiah saya tunjukan pergaulan yang harmonis dengan semua, termasuk bagi yang berbeda agama.  Memakai kupiah tidak menandakan saya shok alim.  Sekali lagi saya katakan "tidak".
Memilih menjadi anggota KPU Padang Pariaman
Melamar Jadi Anggota KPU
            Ketika hampir wisuda pada jurusan Sosiologi FISIP Unand 2003 yang lalu, saya mendengar cerita dan diskusi senior-senior saya di cafĂ© tentang iklan penerimaan anggota Komisi Pemilihan Umum di Koran. Awalnya istilah KPU itu belum akrab dalam pikiran saya, apalagi tentang tugas yang akan dikerjakan di KPU itu seperti apa, tapi memang rezeki saya ada di sana, ada gerakan hati ini untuk mencoba dan mencari tahu.
Pertama ingin membaca secara langsung pengumuman tersebut dan bagaimana cara pendaftarannya. Sebagai calon sarjana yang akan menamatkan studi S.1 nya di kampus, tentu keinginan selanjutnya adalah mencari pekerjaan yang menjanjikan. Maka menindaklanjuti pengumuman di Koran tentang penerimaan KPU itu menjadi salah satu pilihan. Sebenarnya pada saat yang hampir bersamaan saya sudah berkeinginan untuk melanjutkan kuliah S.2 di Unand juga pada program studi Pembanguan Wilayah Pedesaan (PWD). Ternyata penerimaan menjadi anggota KPU itu merata di berbagai tingkatan, dimulai di tingkat Propinsi sampai ke tingkat Kabupaten Kota. Sebagai orang yang pernah menjadi Pimpinan Partai Politik di tingkat Kabupaten dan juga mantan anggota Panitia Pemilihan daerah (PPD) di Kabupaten Pdang Pariaman setelah membaca pengumuman tersebut, sangat kuat gerakan hati ini untuk melamar dan mendaftar. Tidak banyak memang orang yang saya mintai pendapat dan pertimabngannya, saya hanya berjalan dengan gerakan hati. Rencana tersebut saya kabarkan pada kakak saya yang juga sudah menamatkan studi S.1 nya di IAIN Imam Bonjol padang, beliau juga berkeinginan untuk mendaftar. Kamipun mengambil formulir ke alamat yang telah ditetapkan di dalam pengumuman iklan di Koran tersebut. Sulit memang untuk menemui alamat yang ada dalam Koran tersebut, ketika ditanyakan kepada berbagai orang yang bekerja di pemda, tidak ada yang mengatahui alamat Kantor KPU tersebut. Hal itu disebabkan karena kantor KPU itu belum definitive, masih numpang dengan kamtor Perindag dan pertambangan.

Memilih memimpin NU Padang Pariaman
Organisasi ke NU-an
            Selama masih kuliah, saya sering membawa tentang NU dan PMII, namun saya tidak pernah sempat berkenalan dengan tokoh kunci NU. Kecintaan dan kehausan saya berproses dengan organisasi yang sesuai dan sealiran dengan paham saya, tidak pernah saya dapatkan. Selama tercata sebagai mahasiswa saya pernah ikut dalam Latihan Kepemimpinan (LK) HMI Padang melalui komisariat Pertanian Unand. Bahkan dalam pelatihan itu saya juga termasuk yang terbaik dan mendapatkan hadiah voucher dari panitianya. Ini berarti bahwa potensi organisasi saya juga di nilai baik oleh senior dan teman-teman saya di HMI. Kemudian saya juga tertarik dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), ketertarikan itu saya lanjutkan dengan mengikuti Daurah Marhalah (DM I) KAMMI. Namun saya akhirnya tidak begitu aktif di organisasi besar ekstra kampus itu lagi, karena saya harus kuliah dua pada perguruan tinggi negeri di Sumbar yaitu di IAIN dan Unand.
            Setelah saya tamat kuliah di dua perguruan tinggi negeri tersebut, saya diterima menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum kabupaten Padang Pariaman. Maka pada saat itu saya berkenalan lagi dengan tokoh-tokoh organisasi di padang Pariaman, baik organisasi partai politik maupun organisasi social kepemudaan dan kemasyarakatan. Sehubungan dengan pekerjaan saya di KPU, maka semua elit partai politik mengenal saya. Namun ada salah seorang pengurus Ormas NU berkenalan dengan saya, namanya Abdul hadi Tk Rajo, S.Ag. Pada saat itu beliau menjabat sebagai Sekretaris PCNU Padang Pariaman. Beliau mengundang saya untuk memberikan ceramah Israk Mi’raj di SMP Sungai Laban tempatnya mengajar. Perkenalan itu berlanjut dengan bercerita panjang tentang NU. Maka saya menjadi tertarik dengan NU dan ingin terlibat dalam semua proses pengambilan keputusan di NU tersebut.
Kemudian, seiring dengan akan dilaksanakannya Pemilihan Umum di Padang Pariaman, banyak pengurus PKB berdialog dengan saya, karena rata-rata pengurus PKB adalah Tuanku. Secara emosional cerita saya akan nyambung, apalagi saya ingin tahu banyak dengan NU, sedangkan PKB adalah partai yang dilahirkan tokoh-tokoh NU. Tokoh muda PKB yang juga kader Nu yang bernama Armaidi Tanjung, S.Sos begitu intens berkomunikasi dengan saya tentang NU, karena beliau lebih dulu masuk organisasi di badan otonom NU yaitu Gerakan Pemuda Ansor. Beliau juga pembina Ikatan pelajar NU. Maka beliau mengajak saya untuk membentuk Ikatan Pelajar NU Padang pariaman, beliau memberi saya PD/PRT IPNU melalui tokoh muda NU juga yaitu A. Damanhuri Tk. Mudo (pada saat itu berprofesi sebagai wartawan Media Sumbar). Perkenalan saya dengan kedua aktifis muda NU itu, membuat saya ingin mendalami NU secara mendalam. Setelah saya membaca PD/PRT IPNU, maka saya berinisiatif untuk menyusun kepengurusan Ikatan Pelajar NU Padang Pariaman. Saya buat berita acara konfercab dan surat permohonan pengesahan dari PP IPNU, kemudian saya kirimkan melalui Armaidi tanjung, kebetulan beliau ke jakarta.     
Memilih ikut pemerintah
Tuanku di padang pariaman merupakan ulama lulusan surau atau pesantren tradisional. Tuanku mengamalkan tariqat syatariyah yang merupakan tariqat yang dibawa syekh burhanuddin dari aceh ke sumatera barat, tepatnya ulakan dan sekitarnya. Tuanku diajarkan tariqat syatariah yang didalamnya juga mengajarkan dan mengatur hal-hal yang berkenaan dengan amaliyah dan ubudiyah. Ada beberapa amaliyah yang diatur dalam tariqat syatariah dan diwajibkan kepada pengikutnya untuk mengamalkannya, termasuk tuanku yang menjadi pewaris dan pelanjut dari ajaran tariqat syatariyah. Ada beberapa amalan yang secara turun temurun diwariskan dari mursyid, syekh atau tuanku kepada murid, pengikut atau jamaahnya seperti :
1.Puasa dengan melihat bulan dengan bilangan khamsiah, termasuk buka puasa (idul fitri), termasuk juga penetapan 10 zulhijjah dengan bilangan taqwim khamsiah.
2. Khutbah jumat dan khutbah 2 hari raya idul fitri dan idul adha dengan bahasa arab, dengan materi khutbah yang sudah  diwariskan secara turun temurun.
3. Dalam membaca khutbah wajib pakai tongkat.
4. Dalam membaca ayat shalat, harus membaca bismillah.
5. Setelah shalat wajib, dianjurkan untuk zikir bersama, membaca tahlil dan doa.
6. Bagi yang telah meninggal dunia, diharuskan bagi ahli waris untuk mendoakan dan mentahlilkan dengan kegiatan patang ka tanah, menduo hari, manigo hari, manujuh hari, manduo kali tujuh, ampek puluh hari, maatuih hari.
7. Sebelum jamuan mendoa dalam hari baik bulan baik, membakar kemenyan.
8. Dalam hal penetapan awal ramadhan, awal syawal dan hari raya idul adha, saya memilih untuk ikut pemerintah dalam hal ini kementerian agama RI berdasarkan sidang istbath dari hasil rukyah dan hisab. Meskipun saya mengamalkan dan menganut tariqat syatariah, dalam hal yang sifatnya ikhtilaf, saya lebih memilih mengikuti pemerintah, sepanjang yang dilakukan pemerintah berdasarkan hasil rukyat. Sebab kaedah usul fiqh mengatakan"hukmul hakim yurfaul khilaf (keputusan pemerintah mengeleminir perbedaan)". Jika pemerintah menetapkannya berdasarkan sidang istbath merujuk kepada rukyah dan dihadiri oleh para ulama, termasuk mui dan nu, maka saya muttabi'. Sesuai dengan hadits nabi " berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihat hilal, jika awan tebal dan hilal tidak bisa dilihat, maka sempurnakan bulan sya'ban sebanyak 30 hari". Dalam hal khutbah saya setuju dengan bahasa arab yang memenuhi rukun khutbah dan juga setuju dengan bahasa indonesia yang prinsipnya menjelaskan dari ayat yang dibacakan dalam khutbah dan seluruh rukun khutbahnya berbahasa arab terpenuhi. Kemudian soal ikhtilaf yang lain, sepanjang masih berdasarkan kepada nash al quran dan hadits saya mentolerir perbedaan itu.
Memilih mengabdi melalui pendidikan
Sebagai orang yang percaya dan membuktikan bahwa perubahan cara hidup, berpikir dan bersikap bisa terjadi melalui pendidikan. Maka saya mengabdikan waktu dan harta untuk pendidikan
Memilih beternak sapi dan ikan
Memilih golkar
Memilih usaha warnet
Memilih sebagai konsultan
Memilih untuk kaya
Seperti tradisi yang berkembang di pesantren tradisional, bahwa seorang tuanku hidup dalam kesederhanaan secara ekonomi, qanaah dengan yang ada, tidak terobsesi menjadi orang kaya. Lain halnya dengan saya, tanpa mengabaikan dan meninggalkan nilai-nilai luhur kepesantrenan yang tertanam dalam hidup saya yaitu kesederhanaan, qanaah dan tidak cinta harta, namun saya ingin menjadi orang kaya, karena saya tidak suka miskin dan saya sudah merasakan bagaimana rasanya menjadi orang miskin. Saya merasakan tidak enak menjadi orang miskin. Ruang gerak pengabdian menjadi terbatas, jika kita miskin bahkan sebaliknya membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan miskin menjadikan kita beban bagi orang lain serta menjadi beban bagi pemerintah. Kita akan menjadi bahan pembicaraan bagi orang lain, termasuk juga para pemimpin negeri ini. Mulai dari pemerintah level terendah sampai kepada pemerintah pada tingkat tinggi.
Tentu untuk menjadi orang kayanya anak pesantren harus berbeda dengan yang tidak. Maksudnya untuk mendapatkan kekayaan tentu harus melalui jalur yang legal, sesuai dengan norma agama, aturan hukum dan nilai adat istiadat. Mendapatkan kekayaan  harus memperhatikan cara mendapatkan harta, status harta yang didapatkan,  cara mempergunakan atau membelanjakan. Tentu harus sesuai dengan tuntunan agama. Dengan menjadi orang kaya, kita bisa melakukan ibadah maliyah, baik dalam bentuk pembayaran zakat, infaq, wakaf, sedekah maupun ibadah maliyah lainnya seperti menunaikan rukun islam ke 5 yaitu naik haji. Mendirikan sekolah, madrasah, lembaga pemberdayaan lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lainnya. Meskipun belum menjadi orang terkaya dalam bidang harta. Namun saya tetap mengoptimalkan potensi yang Allah berikan untuk mencari karunia Allah.  Saya juga berkeinginan untuk menularkan semangat menjadi orang kaya itu kepada semua orang, terkhusus kepada kolega saya yang berasal dari pesantren. Karena ilmu yang diajarkan di pesantren "bahwa tangan di atas lebih dari tangan dibawah atau orang memberi lebih baik dari meminta". Lebih baiknya harus dilihat secara menyeluruh, termasuk juga dalam hal derajat kemanusiaan kita.
Untuk menjadi orang kaya itu bukanlah mudah, membutuhkan semangat kerja yang tinggi, keuletan, kegigihan serta pantang menyerah. Tidak ada dalam kamusnya orang yang sukses juga termasuk mendapatkan kekayaan kalau dia tidak punya etos kerja yang tinggi, bekerja dengan optimisme, fokus, konsentrasi dan konsisten. Itu adalah modal utama yang harus dimiliki untuk menjadi orang kaya. Orang kaya memang tidak suka melihat orang yang pemalas, berpangku tangan, berputus asa. Maka orang  kaya katakan "wajar saja dia miskin, karena dia pemalas, tidak disiplin, buang-buang waktu, tidak menjadikan hidup berarti dan bermakna. Kita harus belajar tentang succes story seseorang, bagaimana dia mendapatkan kesuksesan dan lain sebagainya. Yang saya inginkan adalah menjadi orang kaya yang dermawan, tidak sombong, angkuh dan congkak, saling menghormati dan mau berbagi serta mengajak dan memotivasi orang miskin untuk beralih dan hijrah dari kemiskinannya menuju kaya. Menjadi orang kaya tidak mesti kaya dalam ukuran orang lain. Tetapi kaya yang dimaksud minimal adalah sudah memenuhi kebutuhan dan kewajiban serta berbagi dari kelebihan yang telah Allah anugerahkan melalui zakat itu sudah kaya. Lebih-lebih lagi kalau kaya hatinya. Itulah yang paling mulia.
Mandiri Di Usia Anak-anak
Sebagai anak yang terlahir dari keluarga sederhana, menuntut saya untuk membantu orang tua dalam mengurangi beban orang tua dalam pemenuhan kebutuhan biaya dan uang jajan sekolah. Usaha yang saya lakukan untuk dapat menghasilkan uang ketika duduk di kelas 3 SD melalui kreatifitas pembuatan permainan anak-anak dan memenangi berbagai pertandingan permainan anak-anak. Kreatifitas pembuatan mainan anak-anak seperti membuat layang-layang dan gasing, kemudian dijual kepada teman-teman sebaya dari keluarga mampu, namun tidak bisa membuat layang-layang dan gasing. Di samping itu saya juga sering memenangkan pertandingan, seperti main kelereng yang kemudian mendapatkan kelereng yang banyak dan bisa dijual lagi menghasilkan uang, menang main karet (kajai), main kodak (gambar) dan lain-lain. Hasil dari kemenangan tersebut bisa dijual kembali dan didaptkan uang.
Membuat permainan anak-anak tersebut membentuk diri saya menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif, membuat sesuatu yang bernilai ekonomis. Secara tanpa sadar bahwa kreatifitas pada usia anak-anak, bisa menghasilkan uang, membentuk kepribadian yang kuat dan mandiri. Selanjutnya permainan yang saya ikuti pada usia anak-anak seperti permainan kelereng, permainan karet (kajai) dan permainan kodak ditinjau dari aspek positifnya mendorong semangat kompetitif. Dan dalam pertandingan membutuhkan strategi serta taktik untuk memenangkannya. Dalam pertandingan permainan tersebut menuntut kejelian, perhitungan dan naluri keberanian untuk membuat keputusan. Semua itu bagian dari proses pembentukan karakter kepemimpinan saya dan naluri intrepreneur melalui pertandingan permainan.
Pada usia anak-anak saya sudah bisa menjadi event organizer (EO) lomba layang-layang PAU-PAU yang dibuat dari lidi dan dibungkus dengan plastik, dinaikan melalui benang kecil (benang mesin). Masing-masing peserta dipungut biaya pendaftaran sebesar Rp. 50 dan dari kumpulan uang pendaftaran tersebut dibelikan hadiah untuk pemenang. Sisanya adalah sebagai keuntungan untuk saya selaku event organizer. Saya juga bertindak sebagai juri atau tim penilai layang-layang dengan menggunakan indikator 1. Yang paling tinggi, 2. Yang bagus goyangnya (enggak) dan tegak tali (benangnya berdiri dan tidak mengayak).  Peran ini juga bagian dari proses pembentukan kepribadian saya. Kalau saya mencoba untuk mengambil hikmah dari proses yang sudah saya lewati ini terasa sekali potensi leadership dan intrepreneur pada usia-usia anak. Artinya teman-teman sebaya memberikan kepercayaan saya untuk menyelenggarakan sebuah pertandingan, kemudian menggerakan mereka untuk melakukan sesuatu berdasarkan usulan dan pendapat saya. Dari semua kegiatan tersebut tetap menguntungkan saya dan memberikan penghasilan uang bagi saya, serta membentuk sifat objektif saya dan adil dalam memberikan penilaian.
Dalam berbagai permainan dan pertandingan saya termasuk jago dan lakon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar