(B)IM(B)INGAN BELAJAR
Akhir-akhir ini sudah menjamurnya
lembaga bimbingan belajar di berbagai sudut kota.
Hadirnya Blembaga Bimbel di belantara dunia pendidikan mengundang banyak
analisis dari pemerhati dan pengamat pendidikan. Satu sisi kehadiran lembaga
Bimbel adalah mengambarkan tentang kurang siapnya lulusan sekolah untuk
berkompetisi kalau belum mengikuti bimbingan khusus, namun sisi lain ini adalah
gambaran betapa sudah banyaknya masyarakat yang peduli terhadap pendidikan
generasi.
Dengan banyaknya anak-anak yang
ikut bimbingan belajar, menunjukan lemah dan rendahnya kualitas proses belajar
mengajar di sekolah. Sekolah tidak lagi memberikan jaminan bahwa lulusannya itu
siap bersaing. Anak-anak sekolah sekarang diajarkan dengan pendidikan praktis
serba instant. Banyaknya anak-anak mengikuti belajar di lembaga bimbingan
belajar jika akan mengikuti ujian UN atau ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru (SPMB), dulu UMPTN.
Hal ini yang menjadi aneh bagi orang tua murid, yang
membuka lembaga Bimbingan Belajar atau tenaga pengajarnya adalah guru di
sekolah. Mereka kalau sebagai tenaga pengajar di lembaga Bimbel mempunyai
target dan begitu serius memberikan materi pelajaran. Sedangkan ketika di sekolah mereka hanya sekedar
menjalankan tugas mengajar, tidak punya target atas kulaitas siswanya. Yang
sering berpikir supaya siswanya itu lulus dengan baik hanay kepala sekolah
Mengulas surat pembaca (Padang Ekspres. Sabtu, 23 Juni 007) yang berjudul
Pendidikan Sekolah belum lengkap tanpa bimbel yang ditulis Reski Kasman,
Sekretaris SMART Sumbar, mahasiswa UBH. Pada
paragraf keduanya ditulis “Ternyata pendidikan di sekolah belum bisa membuat
siswa percaya diri untuk lulus di PTN. Di samping sekolah, para siswa masih
membutuhkan Bimbel untuk menambah rasa percaya diri agar lulus di PTN. Lalu
dipertanyakan, sampai dimana peran pendidikan di sekolah dalam meningkatkan
kualitas kecerdasan siswa. Lebih lenjut ditulisnya, jika kebutuhan siswa
terhadap bimbel semakin tinggi, untuk apalagi pendidikan sekolah. Tutup saja
pendidikan di sekolah. Fokuskan saja pendidikan siswa di lembaga bimbel.
Apa yang
dirasakan dan dipikirkan oleh Rezki ini, barangkali juga dirasakan dan
dipikirkan oleh banyak masyarakat lainnya. Makanya hal ini perlu diberikan
apresiasi, ada apa sebenarnya dengan dunia pendidikan kita
“Bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya, untuk Indonesia Rata”, itulah sepenggal bait lagu kebangsaan Indonesia.
Ada dua hal yang mendasar terefleksi dari lagu
wajib tersebut : (1). Tujuan dasar Negara Indonesia
adalah membangun jiwa (spiritual) manusia Indonesia
lengkap dengan raga (materiil)nya. (2). Lagu kebangsaan tadi mendahulukan
membangun jiwa, baru diikuti bangun raga. Prinsip dasar membangun jiwa-raga itu
adalah membangun manusia seutuhnya. Membangun dengan berperspektif
spiritual-materialism, bukan mengagung-agungkan materi seperti kaum kapitalis,
tetapi bukan mengabaikan materi, apalagi lari dari persoalan dunia. Dapat
dikatakan bahwa membangun manusia seutuhnya itu seperti termaktub dalam do’a “rabbanaa Aatinaa fiddunia hasanah, wafil
akhirati hasanah”.
Dalam realitas
social terdapat beberapa tingkat manusia terdidik, sebagai hasil dari proses
pendidikan. Pertama, kaum Cerdas, lalu Cerdik, lantas Lihai, berikutnya Licik.
1). Cerdas adalah mereka yang mendapat dan menguasai pendidikan teoritis dan
teknis bidang tertentu namun kurang mampu berinovasi. Nilai mata pelajarannya
baik semua, namun ia tak cukup cekatan dan kreatif dalam menyikapi
kehidupannya. 2). Cerdik berada satu tingkat di atas cerdas. Ia mengusai ilmu
di jalur pendidikannya, pada saat yang sama memiliki kemampuan berimprovisasi,
kreatif dalam menyikapi segala tantangan
dalam kehidupan. 3). Lihai satu tingkat lagi di atas cerdik. Dia cendikia,
kreatif bahkan inovatif terhadap segala permasalahan yang dihadapi, bahkan
dengan cara yang indah
dan canggih. Sentuhan seni telah meresap sekaligus dalam ilmu yang dimiliki. Orang ini tak hanya tahu
ilmu berpidato, tetapi menguasai seni berpidato, begitu juga dengan lainnya.
Penguasaannya bukan sekedar pada level ilmu, tetapi telah pada level seni.
Disitu terlihat ada nuansa keindahan dalam penguasaan. 4). Licik adalah mereka
yang berada pada tataran lihai namun sudah terlalu tinggi bobot rekayasanya.
Semua halal haram sama saja baginya. Segala rekayasa, kalau perlu mengadu domba
dilakukan untuk merealisir ambisi atau mempertahankan kekuasaannya.
Machiavelist, itulah gambaran yang pas untuk manusia licik ini. Al Ghoyyah tubarrir al washilah, tujuan
menghalalkan segala cara.
Selama ini sekolah-sekolah negeri
atau swasta, pada umumnya lebih mementingkan kemampuan kognisi, daya nalar dan
keterampilan menjawab soal-soal ujian. Guru tidak sabar menumbuhkn emosi dan
kemampuan siswa memahami orang
lain, dan siswapun gagal dipahami para guru. Pendidikan emosi terbatas hanya
masalah-masalah kurang relevan, selain kurang ditempatkan sebagai program
utama.
Berbicara soal
pendidikan, menyangkut tiga hal pokok yaitu : aspek kognitif, aspek afektif dan
aspek psikomotor. Yang dimaksud dengan aspek kognitif adalah kemampuan anak
untuk menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Hal ini berhubungan dengan
kemampuan intelektual dan taraf keserdasan
anak didik. Yang dimaksud dengan aspke afektif adalah kemampuan anak untuk
merasakan dan menghayati apa-apa yang diajarkan, yang telah diperolehnya dari
aspek kognitif tadi. Sehingga daripadanya timbullah motivasi untuk mengamalkan
atau melakukan apa yang telah dimilikinya itu. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek
psikomotor, kemampuan anak didik untuk merubah sikap dan prilaku sesuai dengan
ilmu yang telah dipelajari (aspek kognitif) dan ilmu yang telah dihayatinya
(aspek afektif).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar