Selasa, 12 November 2013

(B)IM(B)INGAN BELAJAR

 (B)IM(B)INGAN BELAJAR

Akhir-akhir ini sudah menjamurnya lembaga bimbingan belajar di berbagai sudut kota.  Hadirnya Blembaga Bimbel di belantara dunia pendidikan mengundang banyak analisis dari pemerhati dan pengamat pendidikan. Satu sisi kehadiran lembaga Bimbel adalah mengambarkan tentang kurang siapnya lulusan sekolah untuk berkompetisi kalau belum mengikuti bimbingan khusus, namun sisi lain ini adalah gambaran betapa sudah banyaknya masyarakat yang peduli terhadap pendidikan generasi.
Dengan banyaknya anak-anak yang ikut bimbingan belajar, menunjukan lemah dan rendahnya kualitas proses belajar mengajar di sekolah. Sekolah tidak lagi memberikan jaminan bahwa lulusannya itu siap bersaing. Anak-anak sekolah sekarang diajarkan dengan pendidikan praktis serba instant. Banyaknya anak-anak mengikuti belajar di lembaga bimbingan belajar jika akan mengikuti ujian UN atau ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dulu UMPTN.
Hal ini yang menjadi aneh bagi orang tua murid, yang membuka lembaga Bimbingan Belajar atau tenaga pengajarnya adalah guru di sekolah. Mereka kalau sebagai tenaga pengajar di lembaga Bimbel mempunyai target dan begitu serius memberikan materi pelajaran. Sedangkan ketika di sekolah mereka hanya sekedar menjalankan tugas mengajar, tidak punya target atas kulaitas siswanya. Yang sering berpikir supaya siswanya itu lulus dengan baik hanay kepala sekolah


Mengulas surat pembaca (Padang Ekspres. Sabtu, 23 Juni 007) yang berjudul Pendidikan Sekolah belum lengkap tanpa bimbel yang ditulis Reski Kasman, Sekretaris SMART Sumbar, mahasiswa UBH. Pada paragraf keduanya ditulis “Ternyata pendidikan di sekolah belum bisa membuat siswa percaya diri untuk lulus di PTN. Di samping sekolah, para siswa masih membutuhkan Bimbel untuk menambah rasa percaya diri agar lulus di PTN. Lalu dipertanyakan, sampai dimana peran pendidikan di sekolah dalam meningkatkan kualitas kecerdasan siswa. Lebih lenjut ditulisnya, jika kebutuhan siswa terhadap bimbel semakin tinggi, untuk apalagi pendidikan sekolah. Tutup saja pendidikan di sekolah. Fokuskan saja pendidikan siswa di lembaga bimbel.  
Apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh Rezki ini, barangkali juga dirasakan dan dipikirkan oleh banyak masyarakat lainnya. Makanya hal ini perlu diberikan apresiasi, ada apa sebenarnya dengan dunia pendidikan kita




“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Rata”, itulah sepenggal bait lagu kebangsaan Indonesia. Ada dua hal yang mendasar terefleksi dari lagu wajib tersebut : (1). Tujuan dasar Negara Indonesia adalah membangun jiwa (spiritual) manusia Indonesia lengkap dengan raga (materiil)nya. (2). Lagu kebangsaan tadi mendahulukan membangun jiwa, baru diikuti bangun raga. Prinsip dasar membangun jiwa-raga itu adalah membangun manusia seutuhnya. Membangun dengan berperspektif spiritual-materialism, bukan mengagung-agungkan materi seperti kaum kapitalis, tetapi bukan mengabaikan materi, apalagi lari dari persoalan dunia. Dapat dikatakan bahwa membangun manusia seutuhnya itu seperti termaktub dalam do’a “rabbanaa Aatinaa fiddunia hasanah, wafil akhirati hasanah”.
Dalam realitas social terdapat beberapa tingkat manusia terdidik, sebagai hasil dari proses pendidikan. Pertama, kaum Cerdas, lalu Cerdik, lantas Lihai, berikutnya Licik. 1). Cerdas adalah mereka yang mendapat dan menguasai pendidikan teoritis dan teknis bidang tertentu namun kurang mampu berinovasi. Nilai mata pelajarannya baik semua, namun ia tak cukup cekatan dan kreatif dalam menyikapi kehidupannya. 2). Cerdik berada satu tingkat di atas cerdas. Ia mengusai ilmu di jalur pendidikannya, pada saat yang sama memiliki kemampuan berimprovisasi, kreatif dalam menyikapi segala tantangan dalam kehidupan. 3). Lihai satu tingkat lagi di atas cerdik. Dia cendikia, kreatif bahkan inovatif terhadap segala permasalahan yang dihadapi, bahkan dengan cara yang indah dan canggih. Sentuhan seni telah meresap sekaligus dalam ilmu yang dimiliki. Orang ini tak hanya tahu ilmu berpidato, tetapi menguasai seni berpidato, begitu juga dengan lainnya. Penguasaannya bukan sekedar pada level ilmu, tetapi telah pada level seni. Disitu terlihat ada nuansa keindahan dalam penguasaan. 4). Licik adalah mereka yang berada pada tataran lihai namun sudah terlalu tinggi bobot rekayasanya. Semua halal haram sama saja baginya. Segala rekayasa, kalau perlu mengadu domba dilakukan untuk merealisir ambisi atau mempertahankan kekuasaannya. Machiavelist, itulah gambaran yang pas untuk manusia licik ini. Al Ghoyyah tubarrir al washilah, tujuan menghalalkan segala cara.



Selama ini sekolah-sekolah negeri atau swasta, pada umumnya lebih mementingkan kemampuan kognisi, daya nalar dan keterampilan menjawab soal-soal ujian. Guru tidak sabar menumbuhkn emosi dan kemampuan siswa memahami orang lain, dan siswapun gagal dipahami para guru. Pendidikan emosi terbatas hanya masalah-masalah kurang relevan, selain kurang ditempatkan sebagai program utama.



Berbicara soal pendidikan, menyangkut tiga hal pokok yaitu : aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor. Yang dimaksud dengan aspek kognitif adalah kemampuan anak untuk menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Hal ini berhubungan dengan kemampuan intelektual dan taraf keserdasan anak didik. Yang dimaksud dengan aspke afektif adalah kemampuan anak untuk merasakan dan menghayati apa-apa yang diajarkan, yang telah diperolehnya dari aspek kognitif tadi. Sehingga daripadanya timbullah motivasi untuk mengamalkan atau melakukan apa yang telah dimilikinya itu. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek psikomotor, kemampuan anak didik untuk merubah sikap dan prilaku sesuai dengan ilmu yang telah dipelajari (aspek kognitif) dan ilmu yang telah dihayatinya (aspek afektif).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar