Selasa, 12 November 2013

AT(RIBUT) PARTAI BARU

AT(RIBUT) PARTAI BARU
Oleh : Rahmat Tuanku Sulaiman, S.Sos, MM
Ketua PC Nahdlatul Ulama Padang pariaman

            Beberapa hari belakangan ini, para elit politik, pimpinan ormas, pengamat, masyarakat dan media media massa baik elektronik maupun cetak sering membahas, berdebat atau berdiskusi dalam istilah ilmiahnya bahkan sampai “rebut” tentang kemunculan partai baru. Kemunculan partai baru secara murni dalam era demokrasi dan kebebasan tidak ada masalah, yang jadi masalah bahkan sampai dalam kategori ribut pendapat adalah kemunculan partai baru itu dikaitkan-kaitkan dengan partai lama, bahkan partai baru ini mengaitkan kemunculan dirinya dengan ormas-ormas keagamaan terbesar seperti NU dan Muhammadiyyah yang sudah komit dan konsisten dengan khittahnya masing-masing. NU misalnya memakai istilah “ untuk tetap menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada”. Sedangkan Muhammadiyyah memakai istilah “untuk menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik yang ada”. Pada prinsipnya kedua ormas terbesar di Indonesia itu tetap sebagai “Jam’iyyah Diniyyah Ijtimaiyyah” organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang bergerak di bidang agama, pendidikan dan sosial. Politik kedua ormas tersebut adalah “Politik Kebangsaan, Politik Keumatan dan Politik Kebudayaan”. Meskipun itu bukan harga mati, namun sampai saat sekarang kedua ormas tersebut secara organisatoris tidak akan turun gunung ke “Politik Kekuasaa”.
Kemunculan Partai Matahari Bangsa (PMB) misalnya mencoba mengaitkan bahkan mengklaim partainya itu partai warga Muhammadiyah, begitu juga dengan kemunculan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) mencoba untuk mengaitkan atau mengklaim partainya adalah partainya warga NU. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kebanyakan dari elit dari kedua partai baru ini merupakan kader-kader dari dua ormas terbesar tersebut. Namun mereka bukanlah refresentasi dari kedua ormas tersebut secara organisatoris. Kalau dicoba untuk melihat ke dalam kepengurusan partai, elit-elit partai tersebut merupakan mantan-mantan anggota partai lama, seperti kebanyakan dari pengurus atau elit-elit dari PMB adalah mantan pengurus atau mantan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN), begitu juga dengan kebanyakan dari pengurus atau elit-elit dari PKNU adalah mantan pengurus atau mantan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Jika dilihat secara kasat mata, kemunculan kedua partai tersebut merupakan kekecewaan mereka (elit) dengan tidak terlibatnya (terakomodirnya) mereka dalam struktur partai yang ada atau yang kalah dalam pertarungan politik. Cerita saudara teman dari sahabat saya mengatakan “orang Indonesia ini tidak mau (tidak sabar hanya) menjadi anggota, mereka semua selalu ingin untuk menjadi yang teratas” istilah lainnya “biarlah jadi kucing asalkan jadi kepala, daripada hariamau tapi hanya sekedar ekor”. Karakter inilah sebagian yang terkonstruksi (terbangun) dalam pola pengkaderan kepemimpinan bangsa. Beberapa kasus, ketika seseorang kalah dalam kompetisi pemilihan pimpinan dalam satu organisasi (partai politik, pemerintahan bahkan ormas), mereka berusaha dengan segala cara untuk menjatuhkan pimpinan yang terpilih (yang sah). Sepertinya banyak calon pimpinan bangsa ini tidak siap untuk kalah dan menerima secara legowo kemenangan orang lain. Meskipun sebelum pemilihan mereka sudah menebarkan statement “untuk siap menang dan siap kalah”, namun ketika kalah, ada saja kilahnya untuk memperlihatkan egonya.
Anak bangsa ini sudah banyak yang egois, karena syahwat politiknya tidak tersalurkan, maka dengan dalih “banyak masyarakat kecewa” dalam hal ini mengaitkan warga Muhammadiyah kecewa dengan PAN, maka hadirlah PMB untuk menampung aspirasi  warga Muhammadiyah, begitu juga kemunculan PKNU mengait-ngaitkan kekecewaan warga NU dengan PKB. Sebenarnya warga NU dan Muhammadiyyah tidaklah mereka kecewa dengan partai yang ada, bagi mereka sesuai dengan Khittahnya dengan partai yang ada dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasinya. Sebenarnya kekecewaan itu bukanlah kekecewaan warga NU dan Muhammadiyyah secara organisatoris, namun merupakan kekecewaan elit-elit politik yang tidak tergabung dalam struktur (jabatan) politik yang ada.
Kemudian yang menariknya lagi adalah kemunculan partai baru itu menggunakan atribut (simbol) seperti logo partai menyerupai atribut (logo) ormas yang ada, kepentingan politik mereka adalah untuk mengidentikan partainya dengan ormas yang mempunyai logo itu. Mereka tidak berani atau kurang percaya diri kalau membuat atribut atau logo baru yang berbeda dengan ormas yang ada. Ini menggambarkan ketidak beranian partai baru tersebut untuk berdiri di atas kaki sendiri dan juga kurang berkreasi dan berinovasi untuk mendisain atribut atau logo baru. Lihat misalnya PMB dengan menggunakan atribut atau logo pancaran sinar matahari seperti logonya Muhammadiyyah, begitu juga dengan PKNU dengan memakai bintang sembilan, bola duni seperti logonya NU. Meskipun logo pancaran matahari juga sudah digunakan PAN, namun ada beda dan kreasinya, begitu juga dengan bintang sembilan dengan bola dunia juga digunkan PKB, namun bola dunianya hanya sebatas peta Indonesia dan tidak menggunakan tali yang berbuhul sentak.
Memang dalam teori Political Marketing logo (atribut) partai politik merupakan salah satu alat atau sarana pengenalan (sosialisasi) partai kepada masyarakat, bahkan menjadi alat pemenang pemilihan umum atau mempengaruhi masyarakat. Dalam penelitian Tesis S2 (MM) saya tentang “Faktor Penentu dari Political Marketing dalam Pemilihan Partai Politik Masyarakat Padang Pariaman” pada Pemilihan Umum tahun 2004 yang lalu, atribut atau logo partai merupakan salah satu faktor penentu masyarakat menentukan pilihannya, bahkan masyarakat pedesan atau perdalaman sangat fanatic dengan logo atau atribut suatu partai. Dalam banyak kampanye yang saya amati dan pantau pada pemilihan umum tahun 2004 kemaren, banyak para juru kampanye untuk mempengaruhi masyarakat dengan menterjemahkan atau mengartikan logo (atribut) partainya dengan berbagai pendekatan,  bahkan juga dikaitkan dengan agama serta menyentir beberapa Al Qur’an dan Hadits untuk membenarkan arti terjemahan dari logo tersebut, dan juga dengan menterjemahkan dalam pendekatan filosofi adapt Minangkabau. Pokoknya asalkan masyarakat terpengaruh dan tertarik, terlepas benar atau salah, pantas atau tidak pantas.
Sebenarnya kita bukannya tidak menerima kemunculan partai politik baru, berapapun jumlah partai politik baru itu muncul di bumi demokrasi ini, mengusung idiologi apapun, sebagai warga Negara yang baik tidak ada alasan untuk tidak menerimanya. Toh ajang seleksinya nanti ada pada Pemilihan Umum. Persoalannya sekarang adalah kita berharap kemunculan partai politik baru itu murni lahir untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara gentlement, bukan menyelesaikan persoalan kepentingan pribadi yang tidak tertampung dengan menyeret ormas ke politik praktis. Kekuasaan. Garapan ormas dengan partai politik memang ada bedanya. Inilah yang harus sama-sama dijaga. Secara tidak langsung, memang atribut partai baru seperti PMB dan PKNU  sedikit memunculkan “keributan” dari organisasi keagamaan kemasyarakatan seperti Muhammadiyah dan NU, karena khawatir akan menodai kesucian Khittah dari masing-masing ormas tersebut. Berjuanglah semua partai politik, majulah semua ormas dengan kemajuannya. Mari kita doakan semoga NU dan Muhammadiyah tetap siap menjaga dan menyelamatkan kesucian khittahnya dalam menghadapi terpaan dan pengaruh stuasi perpolitikan bangsa. InsyaAllah  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar