AT(RIBUT) PARTAI BARU
Oleh : Rahmat Tuanku Sulaiman, S.Sos, MM
Ketua PC Nahdlatul Ulama
Padang pariaman
Beberapa hari belakangan
ini, para elit politik, pimpinan ormas, pengamat, masyarakat dan media media
massa baik elektronik maupun cetak sering membahas, berdebat atau berdiskusi
dalam istilah ilmiahnya bahkan sampai “rebut” tentang kemunculan partai baru.
Kemunculan partai baru secara murni dalam era demokrasi dan kebebasan tidak ada
masalah, yang jadi masalah bahkan sampai dalam kategori ribut pendapat adalah
kemunculan partai baru itu dikaitkan-kaitkan dengan partai lama, bahkan partai
baru ini mengaitkan kemunculan dirinya dengan ormas-ormas keagamaan terbesar
seperti NU dan Muhammadiyyah yang sudah komit dan konsisten dengan khittahnya
masing-masing. NU misalnya memakai istilah “ untuk tetap menjaga jarak yang
sama dengan semua partai politik yang ada”. Sedangkan Muhammadiyyah memakai
istilah “untuk menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik yang ada”.
Pada prinsipnya kedua ormas terbesar di Indonesia itu tetap sebagai “Jam’iyyah
Diniyyah Ijtimaiyyah” organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang bergerak di
bidang agama, pendidikan dan sosial. Politik kedua ormas tersebut adalah
“Politik Kebangsaan, Politik Keumatan dan Politik Kebudayaan”. Meskipun itu
bukan harga mati, namun sampai saat sekarang kedua ormas tersebut secara
organisatoris tidak akan turun gunung ke “Politik Kekuasaa”.
Kemunculan Partai Matahari Bangsa (PMB) misalnya
mencoba mengaitkan bahkan mengklaim partainya itu partai warga Muhammadiyah,
begitu juga dengan kemunculan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) mencoba
untuk mengaitkan atau mengklaim partainya adalah partainya warga NU. Meskipun
tidak dipungkiri bahwa kebanyakan dari elit dari kedua partai baru ini merupakan
kader-kader dari dua ormas terbesar tersebut. Namun mereka bukanlah
refresentasi dari kedua ormas tersebut secara organisatoris. Kalau dicoba untuk
melihat ke dalam kepengurusan partai, elit-elit partai tersebut merupakan
mantan-mantan anggota partai lama, seperti kebanyakan dari pengurus atau
elit-elit dari PMB adalah mantan pengurus atau mantan anggota DPR dari Partai
Amanat Nasional (PAN), begitu juga dengan kebanyakan dari pengurus atau
elit-elit dari PKNU adalah mantan pengurus atau mantan anggota DPR dari Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Jika dilihat secara kasat mata, kemunculan kedua
partai tersebut merupakan kekecewaan mereka (elit) dengan tidak terlibatnya
(terakomodirnya) mereka dalam struktur partai yang ada atau yang kalah dalam
pertarungan politik. Cerita saudara teman dari sahabat saya mengatakan “orang
Indonesia ini tidak mau (tidak sabar hanya) menjadi anggota, mereka semua
selalu ingin untuk menjadi yang teratas” istilah lainnya “biarlah jadi kucing
asalkan jadi kepala, daripada hariamau tapi hanya sekedar ekor”. Karakter
inilah sebagian yang terkonstruksi (terbangun) dalam pola pengkaderan
kepemimpinan bangsa. Beberapa kasus, ketika seseorang kalah dalam kompetisi
pemilihan pimpinan dalam satu organisasi (partai politik, pemerintahan bahkan
ormas), mereka berusaha dengan segala cara untuk menjatuhkan pimpinan yang
terpilih (yang sah). Sepertinya banyak calon pimpinan bangsa ini tidak siap
untuk kalah dan menerima secara legowo kemenangan orang lain. Meskipun sebelum
pemilihan mereka sudah menebarkan statement “untuk siap menang dan siap kalah”,
namun ketika kalah, ada saja kilahnya untuk memperlihatkan egonya.
Anak bangsa ini sudah banyak yang egois, karena
syahwat politiknya tidak tersalurkan, maka dengan dalih “banyak masyarakat
kecewa” dalam hal ini mengaitkan warga Muhammadiyah kecewa dengan PAN, maka
hadirlah PMB untuk menampung aspirasi warga Muhammadiyah, begitu juga kemunculan
PKNU mengait-ngaitkan kekecewaan warga NU dengan PKB. Sebenarnya warga NU dan
Muhammadiyyah tidaklah mereka kecewa dengan partai yang ada, bagi mereka sesuai
dengan Khittahnya dengan partai yang ada dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan
aspirasinya. Sebenarnya kekecewaan itu bukanlah kekecewaan warga NU dan
Muhammadiyyah secara organisatoris, namun merupakan kekecewaan elit-elit
politik yang tidak tergabung dalam struktur (jabatan) politik yang ada.
Kemudian yang menariknya lagi adalah kemunculan partai
baru itu menggunakan atribut (simbol) seperti logo partai menyerupai atribut
(logo) ormas yang ada, kepentingan politik mereka adalah untuk mengidentikan
partainya dengan ormas yang mempunyai logo itu. Mereka tidak berani atau kurang
percaya diri kalau membuat atribut atau logo baru yang berbeda dengan ormas
yang ada. Ini menggambarkan ketidak beranian partai baru tersebut untuk berdiri
di atas kaki sendiri dan juga kurang berkreasi dan berinovasi untuk mendisain
atribut atau logo baru. Lihat misalnya PMB dengan menggunakan atribut atau logo
pancaran sinar matahari seperti logonya Muhammadiyyah, begitu juga dengan PKNU
dengan memakai bintang sembilan, bola duni seperti logonya NU. Meskipun logo
pancaran matahari juga sudah digunakan PAN, namun ada beda dan kreasinya,
begitu juga dengan bintang sembilan dengan bola dunia juga digunkan PKB, namun
bola dunianya hanya sebatas peta Indonesia dan tidak menggunakan tali yang
berbuhul sentak.
Memang dalam teori Political Marketing logo (atribut) partai politik merupakan salah
satu alat atau sarana pengenalan (sosialisasi) partai kepada masyarakat, bahkan
menjadi alat pemenang pemilihan umum atau mempengaruhi masyarakat. Dalam
penelitian Tesis S2 (MM) saya tentang “Faktor Penentu dari Political Marketing
dalam Pemilihan Partai Politik Masyarakat Padang Pariaman” pada Pemilihan Umum
tahun 2004 yang lalu, atribut atau logo partai merupakan salah satu faktor
penentu masyarakat menentukan pilihannya, bahkan masyarakat pedesan atau
perdalaman sangat fanatic dengan logo atau atribut suatu partai. Dalam banyak
kampanye yang saya amati dan pantau pada pemilihan umum tahun 2004 kemaren,
banyak para juru kampanye untuk mempengaruhi masyarakat dengan menterjemahkan
atau mengartikan logo (atribut) partainya dengan berbagai pendekatan, bahkan juga dikaitkan dengan agama serta
menyentir beberapa Al Qur’an dan Hadits untuk membenarkan arti terjemahan dari
logo tersebut, dan juga dengan menterjemahkan dalam pendekatan filosofi adapt
Minangkabau. Pokoknya asalkan masyarakat terpengaruh dan tertarik, terlepas
benar atau salah, pantas atau tidak pantas.
Sebenarnya kita bukannya tidak menerima kemunculan
partai politik baru, berapapun jumlah partai politik baru itu muncul di bumi
demokrasi ini, mengusung idiologi apapun, sebagai warga Negara yang baik tidak
ada alasan untuk tidak menerimanya. Toh ajang seleksinya nanti ada pada
Pemilihan Umum. Persoalannya sekarang adalah kita berharap kemunculan partai
politik baru itu murni lahir untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara
gentlement, bukan menyelesaikan persoalan kepentingan pribadi yang tidak
tertampung dengan menyeret ormas ke politik praktis. Kekuasaan. Garapan ormas
dengan partai politik memang ada bedanya. Inilah yang harus sama-sama dijaga.
Secara tidak langsung, memang atribut partai baru seperti PMB dan PKNU sedikit memunculkan “keributan” dari organisasi
keagamaan kemasyarakatan seperti Muhammadiyah dan NU, karena khawatir akan
menodai kesucian Khittah dari masing-masing ormas tersebut. Berjuanglah semua
partai politik, majulah semua ormas dengan kemajuannya. Mari kita doakan semoga
NU dan Muhammadiyah tetap siap menjaga dan menyelamatkan kesucian khittahnya
dalam menghadapi terpaan dan pengaruh stuasi perpolitikan bangsa. InsyaAllah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar