SEHARUSNYA MESJID RAYA ITU DI PADANG
PARIAMAN
Oleh : Rahmat Tk. Sulaiman, S.Sos, S.Ag, MM
Ketua PC Nahdlatul Ulama (NU) Padang
Pariaman
Masyarakat
Minangkabau merupakan salah satu masyarakat adat yang ada di nusantara ini
dengan ciri khas dan keunikannya. Kubusan masyarakatnya terdiri dari beberapa
struktur masyarakat. Struktur itu dijelmakan dalam simbol-simbol abstraksi
kemasyarakatan. Maka sebutan istilah Tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin
menjadi salah satu icon masyarakat Minangkabau. Ketika ketiga simbol
kemasyarakatan tersebut menyatu dan bersatu, maka menghasilkan sebuah kekuatan
kultul di tengah masyarakat Minangkabau itu sendiri. Semuanya menghasilkan energi
yang kuat dengan landasan pemikirannya masing-masing, ninik mamak dengan kekuatan
adatnya disimbolkan dengan rumah gadang (istana paga ruyung) tempat bertemu dan
bermusyawarahnya, alim ulama dengan kekuatan kitabnya (agama Islam) dilengkapi
dengan mesjidnya tempat berkumpul (beribadah), sedangkan cerdik pandang dengan
kekuatan bukunya (hokum/ undang-undang) dengan mendirikan perpustakaan. Jika
kekuatan ketiga struktur tersebut dipenuhi, kata sepakat didapatkan kok
bulek lah buliah digolongkan, picaklah buliah dilayangkan gagasan
membangun masyarakat minangkabau dengan keminangkabauannya akan terwujud dengan
sendirinya.
Mereka yang
menjelmakan icon Tungku tigo sajarangan itu,
Ninik mamak, Alim Ulama dan Cerdik pandai. Wacana tentang perwujudan dari
ketiga unsur masyarakat Minangkabau itu sudah dimulai. Ketika diresmikannya Perpustakaan Bung Hatta
di Bukit Tinggi dengan sendirinya adanya pengakuan dari masyarakat Mingkabau di
Sumatera Barat bahwa Bukit tinggi merupakan simbolisasi perwujudan masyarakat
cerdik pandai (intelektual) yang identik dengan bukunya. Para
cerdik pandai itu selalu dikaitkan dengan buku dalam hal ini dibangunnya
perpustakaan di Bukit tinggi sebagai tempat gudang buku (cerdik pandai). Secara
tidak langsung pernyataan itu menuntut bahwa masyarakat bukit tinggi dengan
pemerintah kotanya untuk menjadikan bukit tinggi sebagi kota intelektual alias gudangnya cerdik
pandai minangkabau.
Kemudian
masyarakat Minangkabau juga akan membangun kembali Istana pagaruyung yang
beberapa waktu yang lalu mengalami musibah kebakaran yang menelan kerugian
besar. Akan dibangunnya kembali istana paga ruyung itu merupakan wujud dari
keinginan masyarakat Minangkabau simbol kebudayaannya jangan sampai hilang.
Apapun yang terjadi keinginan untuk membangaun kembali Istana pagaruyung harus
diwujudkan. Hal ini terbukti dengan datangnya simpati dan empati dari berbagai
masyarakat baik dari masyarakat miangkabau sendiri maupun dari masyarakat lain
memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, baik materil maupun moril. Ini
membuktikan bahwa symbol kebesaran dari Ninik mamak minangkabau tidak boleh hilang
dan lenyap di peredaran zaman. Maka Kabupaten Tanah Datar dengan sendirinya
identik dengan icon istana pagaruyung. Kabupaten tanah datar terasa tidak ada dan
tidak dikenal kalau tidak ada Istana pagaruyung. Hal ini juga merupakan
perwujudan dari fakta sejarah, bahwa asal dari adat minangkabau itu adalah di
darek, pusatnya ada di pagaruyung. Makanya pagaruyung adalah pusat dari
kebesaran ninik mamak. Untuk melengkapi gagasan menjadikan Kabupaten Tanah
Datar sebagai pusat adat Minangkabau dengan adanya istana pagaruyung,
seyogyanya juga dipertimbangkan bagaimana kantor Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM) juga dipusatkan di Kabupaten Tanah Datar. Jadi
masing-masing daerah Kabupaten/ Kota
itu diperkuat dengan pembangunan infrastuktur kebudayaan dengan kekhasannya
masing-masing. Hal tidak perlu ditempuh dengan pemaksaan kultur, tapi
memperkuat kultur dengan semua abstraksi yang ada di tengah masyarakat
tersebut.
Kalau di bukit
tinggi sebagai symbol dan pusat intelektual miangkabau sudah didirikan dan
dibangun perpustakaan Bung Hatta. Kemudian di kabupaten Tanah Datar kembali akan
dibangun Istana Paga ruyuang pasca kebakaran sebagai symbol
pusat adat minangkabau. Lalu kemudian bagaimana dengan tempat pembangunan
Mesjid Raya Sumatera Barat. Dalam rencana pemerintah propinsi Sumatera Barat
akan membangun Mesjid Raya Sumatera Barat itu di Kota
Padang, yang
nota bene adalah Pusat Ibu kota
propinsi Sumatera Barat. Kalaulah kita konsisten untuk mewujudkan pembangunan
dan penguatan institusi Tungku Tigo sajarangan,
maka seharusnya Mesjid Raya itu didirikan dan dibangun di Kabupaten Padang Pariaman sesuai
dengan akar budaya dan sejarahnya di Minangkabau. Barangkali kita semua sepakat
dan tidak akan membantah fakta sejarah bahwa Padang Pariaman
adalah pusat pengembangan agama Islam di Minangkabau yang disebarkan oleh ulama
besar Syekh Burhanuddin. Bahkan fakta ini terterjemahkan dan dijelmakan dalam
bentuk pepatah yang selalu dibaca dan disebut-sebut semua pemuka masyarakat
Minangkabau, Adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai, Syarak
mandaki dan adat manurun. Syarak mendaki dari rantau Pariaman menuju
daratan, kemudian Adat
menurun dari darek ke perantauan. Sekali lagi kalau kita konsisten untuk
mewujudkannya, seharusnya Mesjid Raya itu dibangun dan didirikan di Kabupaten Padang Pariaman.
Melihat dan
mengaca pada sikap dan kebijakan pemerintah di Negara-negara maju, mereka
selalu menentukan core competensi
daerahnya masing-masing sesuai dengan potensinya, kemudian potensi itu
dikembangkan dan didorung untuk berkembang dengan menyediakan semua
infrastuktur, sarana dan prasarananya. Maka daerah itu akan unggul dengan
keunggulannya sendiri, ada ciri khas (kekhasan)nya, tidak harus dipaksakan
seperti daerah-daerah lain, karena kalau dipaksakan tidak didukung dengan
potensinya akan menjadi sia-sia dan tidak berguna bahkan sering ditolak. Begitu
juga seharusnya dengan Sumatera Barat dengan
semua kabupaten/ kotanya, harus unggul dengan potensinya sendiri. Langkah
selanjutnya yang harus dilakukan adalah penggalian potensi daerah sendiri dan
percaya diri dengan potensi itu. Daerah itu harus menjadi daerah itu sendiri
dengan kekhasan dan keunikannya. Kegiatan studi banding yang dilakukan oleh
pemerintah daerah ke berbagai daerah di luar sumatera barat, baik itu eksekutif
maupun legislatif seharusnya hanya sekedar pembanding bukan meniru alias
mencontoh mentah-mentah. Kalau di daerah lain mereka melakukan program begini,
begitu dan segala macamnya, jangan hanya serta merta langsung membuat dan
mempraktekan di daerah kita, tanpa harus menselaraskan dengan potensi sosial
budaya daerah kita. Jangan kegiatan studi banding membuat kita menjadi
plagiator kegiatan, kurangnya inisiatif dan inovasi kreatif. Bahkan ada temuan
LSM, perda yang ada di daerah orang lain di copypaste, lalu dibawa pulang dan
dibuat pula di daerahnya, tanpa melalui pengkajian sosial budaya daerahnya.
Berangkat dari
itu semua, pembangunan Mesjid Raya di Kabupaten Padang Pariaman menjadi lebih tepat, karena
didukung oleh potensi sejarah budayanya (bukan mengatakan tidak pantas di
daerah lain). Tentu ini harus ada dukungan politis dari pemerintah propinsi
Sumatera Barat dan dan dukungan argumentatif dari pemerintah daerah kabupaten Padang Pariaman.
Jadi Pemerintah Propinsi Sumatera Barat memfasilitasi dan memediasi peletakan
potensi dan keunggulan daerah-daerah pada
potensinya masing-masing. Untuk Kota Padang
barangkali bisa difokuskan menjadi daerah pembinaan generasi muda, sedangkan
untuk pengembangan dan pemberdayaan potensi Bundo Kanduang
ditempatkan di daerah Kabupaten Pesisir Selatan. Begitu juga dengan
daerah-daerah lain dikembangkan dengan semua potensi daerahnya. Banyak temuan
sekarang, bahwa daerah yang berkembang itu adalah daerah yang dikembangkan
dengan potensi kekhasannya sendiri. Padang Pariaman (harus) unggul dengan
potensi histories keagamaannya, maka untuk mewujudkan dan mengembangkan semua
itu, seharusnya Mesjid Raya Sumatera Barat itu dibangun di Padang Pariaman
sehingga terwujud ungkapan Syarak Mandaki. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar