Selasa, 12 November 2013

SEHARUSNYA MESJID RAYA ITU DI PADANG PARIAMAN

SEHARUSNYA MESJID RAYA ITU DI PADANG PARIAMAN

Oleh : Rahmat Tk. Sulaiman, S.Sos, S.Ag, MM
Ketua PC Nahdlatul Ulama (NU) Padang Pariaman
           
            Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu masyarakat adat yang ada di nusantara ini dengan ciri khas dan keunikannya. Kubusan masyarakatnya terdiri dari beberapa struktur masyarakat. Struktur itu dijelmakan dalam simbol-simbol abstraksi kemasyarakatan. Maka sebutan istilah Tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin menjadi salah satu icon masyarakat Minangkabau. Ketika ketiga simbol kemasyarakatan tersebut menyatu dan bersatu, maka menghasilkan sebuah kekuatan kultul di tengah masyarakat Minangkabau itu sendiri. Semuanya menghasilkan energi yang kuat dengan landasan pemikirannya masing-masing, ninik mamak dengan kekuatan adatnya disimbolkan dengan rumah gadang (istana paga ruyung) tempat bertemu dan bermusyawarahnya, alim ulama dengan kekuatan kitabnya (agama Islam) dilengkapi dengan mesjidnya tempat berkumpul (beribadah), sedangkan cerdik pandang dengan kekuatan bukunya (hokum/ undang-undang) dengan mendirikan perpustakaan. Jika kekuatan ketiga struktur tersebut dipenuhi, kata sepakat didapatkan kok bulek lah buliah digolongkan, picaklah buliah dilayangkan gagasan membangun masyarakat minangkabau dengan keminangkabauannya akan terwujud dengan sendirinya.
Mereka yang menjelmakan icon Tungku tigo sajarangan itu, Ninik mamak, Alim Ulama dan Cerdik pandai. Wacana tentang perwujudan dari ketiga unsur masyarakat Minangkabau itu sudah dimulai.  Ketika diresmikannya Perpustakaan Bung Hatta di Bukit Tinggi dengan sendirinya adanya pengakuan dari masyarakat Mingkabau di Sumatera Barat bahwa Bukit tinggi merupakan simbolisasi perwujudan masyarakat cerdik pandai (intelektual) yang identik dengan bukunya. Para cerdik pandai itu selalu dikaitkan dengan buku dalam hal ini dibangunnya perpustakaan di Bukit tinggi sebagai tempat gudang buku (cerdik pandai). Secara tidak langsung pernyataan itu menuntut bahwa masyarakat bukit tinggi dengan pemerintah kotanya untuk menjadikan bukit tinggi sebagi kota intelektual alias gudangnya cerdik pandai minangkabau.
Kemudian masyarakat Minangkabau juga akan  membangun kembali Istana pagaruyung yang beberapa waktu yang lalu mengalami musibah kebakaran yang menelan kerugian besar. Akan dibangunnya kembali istana paga ruyung itu merupakan wujud dari keinginan masyarakat Minangkabau simbol kebudayaannya jangan sampai hilang. Apapun yang terjadi keinginan untuk membangaun kembali Istana pagaruyung harus diwujudkan. Hal ini terbukti dengan datangnya simpati dan empati dari berbagai masyarakat baik dari masyarakat miangkabau sendiri maupun dari masyarakat lain memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, baik materil maupun moril. Ini membuktikan bahwa symbol kebesaran dari Ninik mamak minangkabau tidak boleh hilang dan lenyap di peredaran zaman. Maka Kabupaten Tanah Datar dengan sendirinya identik dengan icon istana pagaruyung. Kabupaten tanah datar terasa tidak ada dan tidak dikenal kalau tidak ada Istana pagaruyung. Hal ini juga merupakan perwujudan dari fakta sejarah, bahwa asal dari adat minangkabau itu adalah di darek, pusatnya ada di pagaruyung. Makanya pagaruyung adalah pusat dari kebesaran ninik mamak. Untuk melengkapi gagasan menjadikan Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat adat Minangkabau dengan adanya istana pagaruyung, seyogyanya juga dipertimbangkan bagaimana kantor Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) juga dipusatkan di Kabupaten Tanah Datar. Jadi masing-masing daerah Kabupaten/ Kota itu diperkuat dengan pembangunan infrastuktur kebudayaan dengan kekhasannya masing-masing. Hal tidak perlu ditempuh dengan pemaksaan kultur, tapi memperkuat kultur dengan semua abstraksi yang ada di tengah masyarakat tersebut. 
Kalau di bukit tinggi sebagai symbol dan pusat intelektual miangkabau sudah didirikan dan dibangun perpustakaan Bung Hatta. Kemudian di kabupaten Tanah Datar kembali akan dibangun Istana Paga ruyuang pasca kebakaran sebagai symbol pusat adat minangkabau. Lalu kemudian bagaimana dengan tempat pembangunan Mesjid Raya Sumatera Barat. Dalam rencana pemerintah propinsi Sumatera Barat akan membangun Mesjid Raya Sumatera Barat itu di Kota Padang, yang nota bene adalah Pusat Ibu kota propinsi Sumatera Barat. Kalaulah kita konsisten untuk mewujudkan pembangunan dan penguatan institusi Tungku Tigo sajarangan, maka seharusnya Mesjid Raya itu didirikan dan dibangun di Kabupaten Padang Pariaman sesuai dengan akar budaya dan sejarahnya di Minangkabau. Barangkali kita semua sepakat dan tidak akan membantah fakta sejarah bahwa Padang Pariaman adalah pusat pengembangan agama Islam di Minangkabau yang disebarkan oleh ulama besar Syekh Burhanuddin. Bahkan fakta ini terterjemahkan dan dijelmakan dalam bentuk pepatah yang selalu dibaca dan disebut-sebut semua pemuka masyarakat Minangkabau, Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai, Syarak mandaki dan adat manurun. Syarak mendaki dari rantau Pariaman menuju daratan, kemudian Adat menurun dari darek ke perantauan. Sekali lagi kalau kita konsisten untuk mewujudkannya, seharusnya Mesjid Raya itu dibangun dan didirikan di Kabupaten Padang Pariaman.   
Melihat dan mengaca pada sikap dan kebijakan pemerintah di Negara-negara maju, mereka selalu menentukan core competensi daerahnya masing-masing sesuai dengan potensinya, kemudian potensi itu dikembangkan dan didorung untuk berkembang dengan menyediakan semua infrastuktur, sarana dan prasarananya. Maka daerah itu akan unggul dengan keunggulannya sendiri, ada ciri khas (kekhasan)nya, tidak harus dipaksakan seperti daerah-daerah lain, karena kalau dipaksakan tidak didukung dengan potensinya akan menjadi sia-sia dan tidak berguna bahkan sering ditolak. Begitu juga seharusnya dengan Sumatera Barat dengan semua kabupaten/ kotanya, harus unggul dengan potensinya sendiri. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah penggalian potensi daerah sendiri dan percaya diri dengan potensi itu. Daerah itu harus menjadi daerah itu sendiri dengan kekhasan dan keunikannya. Kegiatan studi banding yang dilakukan oleh pemerintah daerah ke berbagai daerah di luar sumatera barat, baik itu eksekutif maupun legislatif seharusnya hanya sekedar pembanding bukan meniru alias mencontoh mentah-mentah. Kalau di daerah lain mereka melakukan program begini, begitu dan segala macamnya, jangan hanya serta merta langsung membuat dan mempraktekan di daerah kita, tanpa harus menselaraskan dengan potensi sosial budaya daerah kita. Jangan kegiatan studi banding membuat kita menjadi plagiator kegiatan, kurangnya inisiatif dan inovasi kreatif. Bahkan ada temuan LSM, perda yang ada di daerah orang lain di copypaste, lalu dibawa pulang dan dibuat pula di daerahnya, tanpa melalui pengkajian sosial budaya daerahnya.
Berangkat dari itu semua, pembangunan Mesjid Raya di Kabupaten Padang Pariaman menjadi lebih tepat, karena didukung oleh potensi sejarah budayanya (bukan mengatakan tidak pantas di daerah lain). Tentu ini harus ada dukungan politis dari pemerintah propinsi Sumatera Barat dan dan dukungan argumentatif dari pemerintah daerah kabupaten Padang Pariaman. Jadi Pemerintah Propinsi Sumatera Barat memfasilitasi dan memediasi peletakan potensi dan keunggulan daerah-daerah  pada potensinya masing-masing. Untuk Kota Padang barangkali bisa difokuskan menjadi daerah pembinaan generasi muda, sedangkan untuk pengembangan dan pemberdayaan potensi Bundo Kanduang ditempatkan di daerah Kabupaten Pesisir Selatan. Begitu juga dengan daerah-daerah lain dikembangkan dengan semua potensi daerahnya. Banyak temuan sekarang, bahwa daerah yang berkembang itu adalah daerah yang dikembangkan dengan potensi kekhasannya sendiri. Padang Pariaman (harus) unggul dengan potensi histories keagamaannya, maka untuk mewujudkan dan mengembangkan semua itu, seharusnya Mesjid Raya Sumatera Barat itu dibangun di Padang Pariaman sehingga terwujud ungkapan Syarak Mandaki. InsyaAllah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar